Senin, 18 April 2011

Skema Model Pengembangan Pendidikan


Ada banyak jenis penelitian yang dilakukan, baik oleh akademisi maupun oleh peneliti. Penelitian dan pengembangan merupakan penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2009: 407). Jenis penelitian ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah produk. Produk yang dihasilkan dapat berupa produk yang betul-betul atau produk hasil pengembangan dari produk yang sudah ada. Menurut Borg and Gall (1979: 624), educational research and development is a process used to develop and validate educational product. Penelitian pengembangan pendidikan adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Hasil dari penelitian  pengembangan tidak hanya pengembangan sebuah produk yang sudah ada melainkan juga untuk menemukan pengetahuan atau jawaban atas permasalahan praktis.
Dan menurut (Richey and Klein, 2007: 1), pengembangan adalah proses penterjemahaan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik yang berkaitan dengan desain belajar sistematik, pengembangan dan evaluasi memproses dengan maksud menetapkan dasar empiris untuk mengkreasikan produk pembelajaran dan non-pembelajaran yang baru atau model peningkatan pengembangan yang sudah ada.
Ada beberapa model penelitian pengembangan dalam bidang pendidikan, antara lain model Borg and Gall dan model Sugiyono. Menurut Borg and Gall (1979: 626), langkah-langkah penelitian pengembangan ada 10, yaitu :
1.    Research and information collecting - Melakukan penelitian pendahuluan dan pengumpulan data awal untuk kaji pustaka, pengamatan kelas, identifikasi permasalahan dan merangkum permasalahan.
2.    Planning - Melakukan perencanaan yaitu identifikasi dan definisi keterampilan, perumusan tujuan, dan uji ahli atau ujicoba pada skala kecil, atau expert judgement.
3.    Develop preliminary form of product - Mengembangkan jenis/bentuk produk awal meliputi: penyiapan materi pembelajaran, penyusunan buku petunjuk, dan perangkat evaluasi
4.    Preliminary field testing - Melakukan uji coba lapangan tahap awal, dilakukan terhadap 1-3 sekolah menggunakan 6-12 subjek. Pengumpulan informasi/data dengan menggunakan observasi, wawancara, dan kuesioner, dan dilanjutkan analisis data
5.    Main product revision - Melakukan revisi terhadap produk utama, berdasarkan masukan dan saran-saran dari hasil uji lapangan awal
6.    Main field testing - Melakukan uji coba lapangan utama, dilakukan terhadap 5-15 sekolah, dengan 30-100 subjek
7.    Operational product revision - Melakukan revisi terhadap produk operasional, berdasarkan masukan dan saran-saran hasil uji lapangan utama
8.    Operational field testing - Melakukan uji lapangan operasional (dilakukan terhadap 10-30 sekolah, melibatkan 40-200 subjek), data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan kuesioner
9.    Final produk]ct revision - Melakukan perbaikan terhadap produk akhir, berdasarkan saran dalam uji coba lapangan
10.    Dissemination dan distribution - Mendesiminasikan dan mengimplementasikan produk, melaporkan dan menyebarluaskan produk melalui pertemuan dan jurnal ilmiah, bekerjasama dengan penerbit untuk sosialisasi produk untuk komersial, dan memantau distribusi dan kontrol kualitas
Dan menurut Sugiyono (2009: 409) penelitian dan pengembangan terdiri dari 10 langkah, yaitu :
1.    Potensi dan masalah – penelitian harus berangkat dari potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang memiliki nilai tambah sedangkan masalah perbedaan antara harapan dan kenyataan.
2.    Pengumpulan data – pengumpulan berbagai data yang diperlukan dalam perancangan produk
3.    Desain produk – pembuatan rancangan produk awal yang akan dibuat lengkap dengan spesifikasinya.
4.    Validasi desain – proses penilaian terhadap rancangan berdasarkan pemikiran rasional bukan fakta dilapangan, dengan cara menghadirkan tenaga ahli yang sesuai.
5.    Revisi desain – koreksi dari ahli dijadikan untuk bahan perbaikan produk.
6.    Ujicoba produk – hasil dari dari perbaikan dibuat prototipe jadi, kemudian diujicobakan penggunaannya pada kelompok terbatas. Desain ujicoba produk menggunakan desain eksperimen dengan cara membandingkan keadaan sebelum dan sesudah menggunakan produk (before-after) atau menggunakan kelompok kontrol (prestest-postest group desain). Kemudian dilakukan uji efektifitas dengan menggunakan uji-t.
7.    Revisi produk – proses perbaikan produk berdasarkan saran da hasil uji efektivitas pada uji coba produk.
8.    Ujicoba pemakaian – ujicoba produk pada kelompok yang lebih luas dan tetap dinilai kekurangan dan hambatan yang muncul untuk perbaikan lebih lanjut.
9.    Revisi produk - Perbaikan dilakukan apabila ada saran perbaikan dan usulan pada ujicoba pada kelompok luas.
10.    Produksi massal – Setelah beberapa kali pengujian dan dinilai effektif maka dapat dilakukan produksi secara massal.

Perancangan Produk
Pada proses perancangan produk, maka peneliti harus menggunakan sebuah model perancangan untuk membuat rancangan produk awal tersebut. Ibaratnya jika kita mengembangkan sebuah model baju, maka akan menggunakan rancangan apa, misalnya rancangan baju batik solo, baju batik yogyakarta dll.
Menurut Gustafson (2002: 18), ada beberapa model pengembangan pembelajaran yang dapat digunakan dalam merancang sebuah produk pendidikan. Model rancangan harus disesuaikan dengan model produk yang akan dibuat.

1.     Classroom-Oriented Models
Classroom-Oriented Models adalah model yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang berlangsung di kelas baik pendidik maupun peserta didik. Hal ini berkaitan erat dengan bahan ajar, perencanaan strategi pembelajaran, pemilihan media pembelajaran, sistem penyampaian dan evaluasi. Beberapa model yang bisa digunakan dalam perancangan model yang berorientasi kelas adalah:
•    Model Gerlach dan Ely
•    Model Heinich, Molenda, Russel dan Smaldino
•    Model Newby, Stepich, Lehman dan Russel
•    Model Morrison, Ross dan Kemp

2.    Product-Oriented Models
Karakteristik model pengembangan produk mempunyai empat asumsi, yaitu: (1) Produk pembelajaran yang diperlukan (2) Pengembangan yang perlu dan penting pada produk yang sudah ada (3) penekanan pada uji coba dan revisi (4) produk harus dapat digunakan. Ada beberapa model yang dapat digunakan untuk proses perancangan model yang berorientasi produk, yaitu:
•    Model Bergman and Moore
•    Model de Hoog, de Jong dan de Vries
•    Model Nieveen
•    Model Seels and Glasgow

3.   System-Oriented Models
Model perancangan yang berorientasi sistem diantaranya:
•    The Interservice Procedures for Instructional Systems Development (IPISD) Models
•    The Gentry Models
•    The Dorsey, Goodrum dan Schwen Model
•    The Diamond Model
•    The Smith and Ragan Model
•    The Dick, Carey dan Carey Model


Model Kemp

Model pengembangan instruksional menurut Kemp (1977), atau yang disebut disain instruksional, terdiri dari delapan langkah, yaitu:
1)    Menentukan tujuan istruksional umum (TIU), yaitu tujuan yang ingin dicapai dalam mengajarkan masing-masing pokok bahasan;
2)    Membuat analisis tentang karakteristik siswa. Analisis ini diperlukan antaral lain untuk mengetahui, apakah latar belakang pendidikan, dan sosial budaya siswa memungkinkan untuk mengikuti program, dan langkah-langkah apa yang perlu diambil;
3)    Menentukan tujuan instruksional secara spesifik, operasional, dan terukur. Dengan demikian siswa akan tahu apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan apa ukurannya bahwa dia telah berhasil. Dari segi pengajar rumusan itu akan berguna dalam menyusun tes kemampuan/keberhasilan dan pemilihan materi yang sesuai;
4)    Menetukan materi/bahan pelajaran yang sesuai dengan TIK;
5)    Menetapkan penjajagan awal (pre-assessment). Ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah memenuhi prasyarat belajar yang dituntut untuk mengikuti program yang bersangkutan. Dengan demikian pengajar dapat memilih materi yang diperlukan tanpa harus menyajikan yang tidak perlu, dan siswa tidak menjadi bosan;
6)    Menentukan strategi belajar-mengajar yang sesuai. Criteria umum untuk pemilihan strategi belajar-mengajar yagn sesuai dengan tujuan instruksional khusus tersebut adalah:
a.    Efisiensi
b.    Keefektifan
c.    ekonomis
d.    kepraktisan, melalu suatu analisis alternatif;
7)    Mengkoordinasikan saranan penunjang yang diperlukan yang diperlukan meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu, dan tenaga, dan
8)    Mengadakan evaluasi. Evaluasi ini sangat perlu untuk mengontrol dan mengaji keberhasilan program secara keseluruhan, yaitu
a.    Siswa
b.    program instruksional
c.    instrumen evaluasi/tes
d.    metode.
Dalam diagram, bentuk model desain instruksional Kemp tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


Diagram Kemp


Model Pengembangan Gerlach dan Ely

Model yang dikembangkan oleh Gerlach dan Ely (1971) dimaksudkan sebagai pedoman perencanaan mengajar. Pengembangan sistem instruksional menurut model ini melibatkan sepuluh unsur seperti terlihat dalam flow chart di halaman berikut.















1)    Merumuskan tujuan.
Tujuan instruksional harus dirumuskan dalam kemampuan apa yang harus dimiliki pada tingkat jenjang belajar tertentu.
2)    Menentukan isi materi.
Isi materi berbeda-beda menurut bidang studi, sekolah, tingkatan dan kelasnya, namun isi materi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya.
3)    Menurut kemampuan awal.
Kemampuan awal siswa ditentukan dengan memberikan tes awal. Pengetahuan tentang kemampuan awal siswa ini penting bagi pengajar agar dapat memberikan dosis pelajaran yang tepat; tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Pengetahuan tentang kemampuan awal juga berguna untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, misalnya apakah perlu persiapan remedial.
4)    Menentukan teknik dan strategi.
Menurut Gerlach dan Ely, strategi merupakan pendekatan yang dipakai pengajar dalam memanipulasi informasi, memilih sumber-sumber, dan menentukan tugas/peranan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan perkataan lain, pada tahap ini pengajar harus menentukan cara untuk dapat mencapai tujuan instruksional dengan sebaik-baiknya. Dua bentuk umum tentang pendekatan ini adalah berntuk eksopose (espository) yang lazim dipergunakan dalam kuliah-kuliah tradisional, biasanya lebih bersifat komunikasi satu arah, dan bentuk penggalian (inquiry) yang lebih mengutamakan partisipasi siswa dalam proses belajar-mengajar. Dalam pengertian instruksional yang sempit, metode ini merupakan rencana yang sistematis untuk menyajikan pesan atau informasi instruksional.
5)    Pengelompokan belajar.
Setelah menentukan pendekatan dan metode, pengajar harus mulai merencanakan bagaimana kelompok belajar akan diatur. Pendekatan yang menghendaki kegiatan belajar secara mandiri dan bebas (independent study) memerlukan pengorganisasian yang berbeda dengan pendekatan yang memerlukan banyak diskusi dan partisipasi aktif siswa dalam ruang yang kecil, atau untuk mendengarkan ceramah dalam ruang yang luas.
6)    Menentukan pembagian waktu.
Pemilihan strategi dan teknik untuk ukuran kelompok yang berbeda-beda tersebut mau tidak mau akan memaksa pengajar memikirkan penggunaan waktunya, yaitu apakah sebagian besar waktunya harus dialokasikan untuk presentasi atau pemberian informasi, untuk pekerjaan laboratorium secara individual, atau untuk diskusi. Mungkin keterbatasan ruangan akan menuntut pengaturan yang berbeda pula karena harus dipecah ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.
7)    Menentukan ruang.
Sesuai dengan tiga alternative pengelompokan belajar seperti pada no.5, alokasi ruang ditentukan dengan menjawab apakah tujuan belajar dapat dipakai secara lebih efektif dengan belajar secara mandiri dan bebas, berinteraksi antarsiswa, atau mendegarkan penjelasan dan bertatap muka dengan penagajar.
8)    Memilih media instruksional yang sesuai.
Pemilihan media ditentukan menurut tanggapan siswa yang disepakati. Jadi tidak sekadar yang dapat memberikan stimulus rangsangan belajar. Gerlach dan Ely mambagi media sebagai sumber belajar ini ke dalam lima katergori, yaitu:
a.    manusia dan  benda nyata
b.    media visual proyeksi
c.    media audio
d.    media cetak
e.    media display.
9)    Mengevaluasi hasil belajar.
Kegiatan belajar adalah interaksi antara pengajar dan siswa, interaksi antara siswa dna media instruksional. Hakiakat belajar adalah perubahan tingkah laku belajar pada akhir kegiatan instruksional. Semua usaha kegiatan pengembangan instruksional di atas dapat dikatakan berhasil atau tidak setelah tingkah laku akhir belajar tersebut dievaluasi. Instrumen evaluasi dikembangkan atas dasar rumusan tujuan dan harus dapat mengukur keberhasilan secara benar dan objektif. Oleh sebab itu, tujuan instruksional harus dirumuskan dalam tingkah laku belajar siswa yang terukur dan dapat diamati.
10)    Menganalisis umpan balik.
Analisis umpan balik merupakan tahap terakhir dari pengembangan sistem instruksional ini. Data umpan balik yang diperoleh dari evaluasi, tes, observasi, maupun tanggapan-tanggapan tentang usaha-usaha instruksional ini menentukan, apakah sistem, metode, maupun media yang dipakai dalam kegiatan instruksional tersebut sudah sesuai untuk tujuan yang ingin dicapai atau masih perlu disempurnakan.


Model ASSURE

Model ASSURE merupakan suatu model yang merupakan sebuah formulasi untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau disebut juga model berorientasi kelas. Menurut Heinich et al (2005) model ini terdiri atas enam langkah kegiatan yaitu:
Analyze Learners
States Objectives
Select Methods, Media, and Material
Utilize Media and materials
Require Learner Participation
Evaluate and Revise
i) Analisis Pelajar
Menurut Heinich et al (2005) jika sebuah media pembelajaran akan digunakan secara baik dan disesuaikan dengan ciri-ciri belajar, isi dari pelajaran yang akan dibuatkan medianya, media dan bahan pelajaran itu sendiri. Lebih lanjut Heinich, 2005 menyatakan sukar untuk menganalisis semua cirri pelajar yang ada, namun ada tiga hal penting dapat dilakuan untuk mengenal pelajar sesuai .berdasarkan cirri-ciri umum, keterampilan awal khusus dan gaya belajar
ii) Menyatakan Tujuan
Menyatakan tujuan adalah tahapan ketika menentukan tujuan pembelajaran baik berdasarkan buku atau kurikulum. Tujuan pembelajaran akan menginformasikan apakah yang sudah dipelajari anak dari pengajaran yang dijalankan. Menyatakan tujuan harus difokuskan kepada pengetahuan, kemahiran, dan sikap yang baru untuk dipelajari
iii) Pemilihan Metode, media dan bahan
Heinich et al. (2005) menyatakan ada tiga hal penting dalam pemilihan metode, bahan dan media yaitu menentukan metode yang sesuai dengan tugas pembelajaran, dilanjutkan dengan memilih media yang sesuai untuk melaksanakan media yang dipilih, dan langkah terakhir adalah memilih dan atau mendesain media yang telah ditentukan.
iv) Penggunaan Media dan bahan
Menurut Heinich et al (2005) terdapat lima langkah bagi penggunaan media yang baik yaitu, preview bahan, sediakan bahan, sedikan persekitaran, pelajar dan pengalaman
pembelajaran.
v) Partisipasi Pelajar di dalam kelas
Sebelum pelajar dinilai secara formal, pelajar perlu dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran seperti memecahkan masalah, simulasi, kuis atau presentasi.
vi) Penilaian dan Revisi
Sebuah media pembelajaran yang telah siap perlu dinilai untuk menguji keberkesanan dan impak pembelajaran. Penilaian yang dimaksud melibatkan beberaoa aspek diantaranya menilai pencapaian pelajar, pembelajaran yang dihasilkan, memilih metode dan media, kualitas media, penggunaan guru dan penggunaan pelajar.


Model ADDIE

Ada satu model desain pembelajaran yang lebih sifatnya lebih generik yaitu model ADDIE (Analysis-Design-Develop-Implement-Evaluate). ADDIE muncul pada tahun 1990-an yang dikembangkan oleh Reiser dan Mollenda.Salah satu fungsinya ADIDE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri.
Model ini menggunakan 5 tahap pengembangan yakni :
1. Analysis (analisa)
2. Design (disain / perancangan)
3. Development (pengembangan)
4. Implementation (implementasi/eksekusi)
5. Evaluation (evaluasi/ umpan balik)
Langkah 1: Analisis
Tahap analisis merupakan suatu proses mendefinisikan apa yang akan dipelajari oleh peserta belajar, yaitu melakukan needs assessment (analisis kebutuhan), mengidentifikasi masalah (kebutuhan), dan melakukan analisis tugas (task analysis). Oleh karena itu, output yang akan kita hasilkan adalah berupa karakteristik atau profile calon peserta belajar, identifikasi kesenjangan, identifikasi kebutuhan dan analisis tugas yang rinci
didasarkan atas kebutuhan.
Langkah 2: Desain
Tahap ini dikenal juga dengan istilah membuat rancangan (blueprint). Ibarat bangunan, maka sebelum dibangun gambar rancang bangun (blue-print) diatas kertas harus ada terlebih dahulu. Apa yang kita lakukan dalam tahap desain ini? Pertama merumuskan
tujuan pembelajaran yang SMAR (spesifik, measurable, applicable, dan realistic). Selanjutnya menyusun tes, dimana tes tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yag telah dirumuskan tadi. Kemudian tentukanlah strategi pembelajaran yang tepat harusnya seperti apa untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini ada banyak pilihan kombinasi metode dan media yang dapat kita pilih dan tentukan yang paling relevan. Disamping itu, pertimbangkan pula sumber-sumber pendukung lain, semisal sumber belajar yang relevan, lingkungan belajar yang seperti apa seharusnya, dan lain-lain. Semua itu tertuang dalam sautu dokumen bernama blue-print yang jelas dan rinci.
Langkah 3: Pengembangan
Pengembangan adalah proses mewujudkan blue-print alias desain tadi menjadi kenyataan. Artinya, jika dalam desain diperlukan suatu software berupa multimedia pembelajaran, maka multimedia tersebut harus dikembangkan. Atau diperlukan modul cetak, maka modul tersebut perlu dikembangkan. Begitu pula halnya dengan lingkungan belajar lain yang akan mendukung proses pembelajaran semuanya harus disiapkan dalam tahap ini. Satu langkah penting dalam tahap pengembangan adalah uji coba sebelum diimplementasikan. Tahap uji coba ini memang merupakan bagian dari salah satu langkah ADDIE, yaitu evaluasi. Lebih tepatnya evaluasi formatif, karena hasilnya digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran yang sedang kita kembangkan.
Langkah 4: Implementasi
Implementasi adalah langkah nyata untuk menerapkan sistem pembelajaran yang sedang kita buat. Artinya, pada tahap ini semua yang telah dikembangkan diinstal atau diset sedemikian rupa sesuai dengan peran atau fungsinya agar bisa diimplementasikan. Misal, jika memerlukan software tertentu maka software tersebut harus sudah diinstal. Jika penataan lingkungan harus tertentu, maka lingkungan atau seting tertentu tersebut juga harus ditata. Barulah diimplementasikan sesuai skenario atau desain awal.
Langkah 5: Evaluasi
Evaluasi adalah proses untuk melihat apakah sistem pembelajaran yang sedang dibangun berhasil, sesuai dengan harapan awal atau tidak. Sebenarnya tahap evaluasi bisa terjadi pada setiap empat tahap di atas. Evaluasi yang terjadi pada setiap empat tahap diatas
itu dinamakan evaluasi formatif, karena tujuannya untuk kebutuhan revisi. Misal, pada tahap rancangan, mungkin kita memerlukan salah satu bentuk evaluasi formatif misalnya review ahli untuk memberikan input terhadap rancangan yang sedang kita buat. Pada tahap pengembangan, mungkin perlu uji coba dari produk yang kita kembangkan atau mungkin perlu evaluasi kelompok kecil dan lain-lain.


Model Hanafin and Peck

Model Hannafin dan Peck ialah model desain pengajaran yang terdiri daripada tiga fase yaitu fase Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi (Hannafin & Peck 1988). Dalam model ini, penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam setiap fase. Model ini adalah model desain pembelajaran berorientasi produk. Gambar di bawah ini menunjukkan tiga fase utama dalam model Hannafin dan Peck (1988).

Fase pertama dari model Hannafin dan Peck adalah analisis kebutuhan. Fase ini diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhankebutuhan dalam mengembangkan suatu media pembelajaran termasuklah di dalamnya tujuan dan objektif media pembelajaran yang dibuat, pengetahuan dan kemahiran yang diperlukan oleh kelompok sasaran, peralatan dan keperluan media pembelajaran.
Setelah semua keperluan diidentifikasi Hannafin dan Peck (1988) menekankan untuk menjalankan penilaian terhadap hasil itu sebelum meneruskan pembangunan ke fase desain. Fasa yang kedua dari model Hannafin dan Peck adalah fase desain. Di dalam fase ini informasi dari fase analisis dipindahkan ke dalam bentuk dokumen yang akan menjadi tujuan pembuatan media pembelajaran. Hannafin dan Peck (1988) menyatakan fase desain bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaedah yang paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media tersebut. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam fase ini ialah dokumen story board yang mengikut urutan aktivitas pengajaran berdasarkan keperluan pelajaran dan objektif media pembelajaran seperti yang diperoleh dalam fase analisis keperluan. Seperti halnya pada fase pertama, penilaian perlu dijalankan dalam fase ini sebelum dilanjutkan ke fase pengembangan dan implementasi.
Fase ketiga dari model Hannafin dan Peck adalah fase pengembangan dan implementasi. Hannafin dan Peck (1988) mengatakan aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah penghasilan diagram alur, pengujian, serta penilaian formatif dan penilaian sumatif. Dokumen story board akan dijadikan landasan bagi pembuatan diagram alir yang dapat membantu proses pembuatan media pembelajaran. Untuk menilai kelancaran media yang dihasilkan seperti kesinambungan link, penilaian dan pengujian dilaksanakan pada fase ini. Hasil dari proses penilaian dan pengujian ini akan digunakan dalam proses pengubahsuaian
untuk mencapai kualitas media yang dikehendaki. Model Hannafin dan Peck (1988) menekankan proses penilaian dan pengulangan harus mengikutsertakan proses-proses pengujian dan penilaian media pembelajaran yang melibatkan ketiga fase secara berkesinambungan. Lebih lanjut Hannafin dan Peck (1988) menyebutkan dua jenis penilaian yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif ialah penilaian yang dilakukan sepanjang proses pengembangan media sedangkan penilaian sumatif dilakukan setelah media telah selesai dikembangkan.


Model Four-D

Beberapa penelitian pengembangan mengacu pada model Four-D yang dikemukakan oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974), model Four-D termuat dalam buku sumber yang dipublikasi oleh gabungan (a joint publication) of the Leadership Training Institute/Special Education, University of Minnesota; The Center for Innovation in teaching the Handicapped (CITH), Indiana University; The Council for Exceptional Children (CEC), and The Teacher Education Division of CEC. Di Indiana University, buku tersebut sebagai buku sumber (sourcebook) di Center for Innovation in teaching the Handicapped. Diskripsi untuk buku tersebut sebagai berikut: Course objectives: *Exceptional Child Education; Handicapped Children; *Instructional Materials; Material Development; Performance Based Teacher Education; Task Analysis; *Teacher Developed Materials; *Teacher Educators.
Beberapa penelitian pengembangan perangkat pembelajaran, model pengembangannya memodifikasi model Four-D (define, design, develop, dissemination) dengan menghilangkan langkah diseminasi (dissemination) tanpa memberikan argumentasi ilmiah yang jelas dan logis menjadi model Three-D (define, design, develop). Ini bukan suatu modifikasi tetapi merupakan pengurangan terhadap salah satu langkah yang telah ditentukan. Karena itu, peneliti diharapkan berhati-hati dalam memodifikasi dan menentukan desain penelitian yang menunjukkan urutan langkah penelitian. Salah satu bagian penting dalam memodifikasi suatu model desain penelitian adalah memahami karakteristik model tersebut. Selanjutnya memberikan argumentasi ilmiah yang logis mengapa peneliti melakukan modifikasi model tersebut dalam penelitiannya. Pengembangan perangkat pembelajaran (instructional development) yang dikemukakan oleh Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974) pada dasarnya dimaksudkan untuk pelatihan guru (training teacher) untuk anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children), dan penekanannya pada pengembangan bahan ajar (material development). Anak-anak berkebutuhan khusus tersebut adalah anak-anak cacat (handicapped children). Sivasailam Thiagarajan, Dorothy S. Semmel dan Melvyn I. Semmel ketiganya ketika itu bekerja di pusat inovasi dalam pelatihan anak-anak cacat (Center for Innovation in Training the Handicapped) di Universitas Indiana (Indiana University), Bloomington, Indiana. Secara umum, tujuan dari penulisan buku sumber tersebut adalah untuk membantu pembaca dalam mendesain (design), mengembangkan (development), dan menyebarkan (dissemination) perangkat pembelajaran (instructional materials) untuk pelatihan guru-guru anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children). Meskipun dalam langkah-langkah penyusunan bahan ajar melibatkan pengembangan perangkat pembelajaran (developing instructional materials), tetapi jika ditinjau dari isi yang terkandung di abstrak, buku sumber (sourcebook) tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan bahan ajar bagi pendidik guru (teacher educator), atau pelatih guru menggunakan model Four-D (define, design, develop, and disseminate). Juga jika ditinjau dari kegiatan yang terkandung dalam langkah Four-D, terutama pada tahap dissemination, disinyalir fokus dari kegiatan adalah mengembangkan bahan ajar untuk pelatihan guru-guru (training teachers) bagi anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children).
Meskipun awalnya model Four-D dimaksudkan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran bagi guru untuk pelatihan guru-guru anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu bagi guru-guru yang mengajar anak-anak cacat, tetapi disinyalir dari kata pengantar (foreword) oleh Maynard C. Reynolds (ketika itu dia sebagai Director Leadership Training Institute/Special Education University of Minossa), bahwa model Four-D tersebut dapat dijadikan sumber ide dan prosedur pengembangan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dan penyebarannya (dissemination) pada bidang lainnya. Dengan demikian model Four-D secara umum dapat dipandang sebagai model untuk pengembangan instruksional (a model for instructional development). Pengembangan model ini didasarkan pada pengembangan instruksional oleh Twelker, Urbach, dan Buck (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974) dengan tahapan: analysis, design, dan evaluation. Awalnya Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) memodifikasi model ini menjadi empat tahap, yaitu: analysis, design, evaluation, dan dissemination. Selanjutnya model ini setelah melalui proses pengembangan dalam pelatihan, disebut model Four-D yang meliputi empat tahap: define, design, develop, dan disseminate. Tahap definisi (define) meliputi lima fase: (1) analisis awal-akhir (front-end analysis); (2) analisis pebelajar (learner analysis); (3) analisis tugas (task analysis); (4) analisis konsep (concept analysis); dan (5) tujuan-tujuan instruktional khusus (specifying instructional objectives). Tahap desain (design) meliputi empat fase: (1) mengkonstruksi tes beracuan-kriteria (constructing criterion-referenced test); (2) pemilihan media (media selection); (3) pemilihan format (format selection); dan (4) desain awal (initial design). Tahap pengembangan (develop) meliputi dua fase: (1) penilaian ahli (expert appraisal); dan (2) pengujian pengembangan (developmental testing). Tahap penyebaran (dissemination) meliputi tiga fase: (1) pengujian validitas (validating testing); (2) pengemasan (packaging); dan (3) difusi dan adopsi (diffusion and adoption). Skema hubungan antar tahap dan antar fase disajikan dalam buku sumber tersebut, dan tidak disajikan dalam artikel ini. Model Four-D, pada setiap tahap pengembangan memuat kegiatan yang menunjukkan adanya urutan langkah kegiatan dan khususnya pada tahap pengembangan (develop) memuat siklus kegiatan. Diskripsi hasil analisis terhadap pokok-pokok kegiatan pada setiap tahap dan fase model Four-D (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974) disajikan sebagai berikut.
No     Tahap Four-D     Fase     Kegiatan yang terkandung dalam setiap fase
1     Definisi (Define)
Tujuan dari kegiatan pada tahap ini adalah untuk menetapkan dan mendefinisikan
syarat-syarat pengajaran (instructional). Melalui analisis ditentukan tujuan dan kendala untuk materi pengajaran (instruction materials).
    Analisis awal-akhir (front-end analysis).     Mempelajari masalah mendasar yang dihadapi peserta pelatihan: untuk meningkatkan penampilan (performance) dari guru-guru pendidikan khusus. Sepanjang analisis ini, kemungkinan alternatif pembelajaran (instruction) yang lebih rapi dan efisien dipertimbangkan. Merekam (filing), dan mencari perangkat pembelajaran yang terkait. Jika alternatif pembelajaran dan materi
tersedia kemudian baru dapat disusun bahan pembelajaran.
        Analisis pebelajar (learner analysis).     Mempelajari pebelajar target, yaitu peserta pelatihan: guru-guru pendikan khusus. Mengidentifikasi relevansi karakteristik peserta dengan desain dan pengembangan instruksional. Karakteristik ini adalah masukan kompetensi (entering competencies) dan latar belakang pengalaman (background experiences). Sikap-sikap khusus menuju ke topik instruksional; dan pemilihan media, format, dan bahasa.
        Analisis tugas (task analysis).     Mengidentifikasi keterampilan utama yang diperoleh guru peserta pelatihan dan menganalisis dalam suatu kelompok sub keterampilan yang memadai dan diperlukan. Analisis ini untuk memastikan pemenuhan menyeluruh tugas terkandung dalam bahan pembelajaran (material instructional).
        Analisis konsep (concept analysis).     Mengidentifikasi konsep-konsep utama yang akan diajarkan, mengatur dalam urutan hirarkhi, dan memerinci konsep-konsep ke dalam atribut-atribut. Analisis ini membantu untuk memperoleh sekumpulan contoh dan bukan contoh.
        Tujuan instruktional khusus (specifying instructional objectives).     Mengubah hasil analisis tugas dan konsep dalam tujuan-tujuan secara behavior (behaviorally). Sekumpulan tujuan ini menjadi dasar untuk mengkonstruksi tes dan desain instruksional. Kemudian diintegrasikan dalam perangkat pembelajaran untuk digunakan oleh instruktur dan guru perserta pelatihan.
2     Desain (Design) Tujuan dari kegiatan pada tahap ini adalah mendesain prototype bahan ajar (instructional material). Kegiatan pada tahap ini dapat dilakukan setelah menentukan sekumpulan tujuan behavior (behavior objectives) untuk perangkat pembelajaran telah ditentukan. Pemilihan format dan media untuk bahan dan produksi versi awal mendasari aspek utama pada tahap desain.     Mengkonstruksi tes beracuan-kriteria (constructing criterion-referenced test).     Sebagai jembatan proses pendefinisian dan desain. Tes beracuan-kriteria mengubah tujuan-tujuan behavior dalam garis besar untuk perangkat pembelajaran.
        Pemilihan media (media selection).     Memilih media yang cocok untuk mempresentasikan isi pengajaran. Proses ini meliputi penyesuaian antara analisis tugas dan konsep, karakteristik target-peserta, sumber produksi, dan rencana penyebaran dengan berbagai macam atribut media yang berbeda. Pemilihan akhir mengidentifikasi medium yang paling sesuai atau kombinasi media untuk digunakan.
        Pemilihan format (format selection).     Mirip dengan pemilihan media. Dalam buku sumber (Thagarajan, 1974) diidentifikasi disertai 21 format yang berbeda yang dipandang cocok untuk mendesain perangkat pembelajaran (instructional material) untuk pelatihan guru. Pemilihan format yang paling sesuai bergantung pada berbagai faktor yang ditentukan dari hasil diskusi.
        Desain awal (initial design)     Mempresentasikan instruksional esensi melalui media yang sesuai dan dalam urutan yang cocok. Ini juga melibatkan penstrukturan berbagai kegiatan belajar seperti membaca teks, melakukan wawancara pada personil pendidikan khusus, dan mempraktikkan keterampilan mengajar oleh teman sejawat (peer teaching).
3     Pengembangan (Develop)
Tujuan kegiatan pada tahap ini adalah memodifikasi prototipe bahan ajar. Meskipun banyak
yang telah dihasilkan pada tahap pendefinisian, hasilnya dipandang sebagai versi awal bahan ajar yang harus dimodifikasi sebelum menjadi versi akhir yang efektif. Umpan balik diperoleh melalui evaluasi formatif dan digunakan untuk merevisi bahan ajar.
    Penilaian ahli (expert appraisal).     Teknik untuk memperoleh saran untuk meningkatkan bahan (material) ajar atau bahan instruksional. Sejumlah pakar diminta mengevaluasi bahan instruksional dan dari segi teknik. Berbasis pada umpan-balik (feedback), bahan dimodifikasi supaya menjadi lebih memadai, efektif, dapat digunakan, dan secara teknik berkualitas tinggi.
        Uji pengembangan
(developmental testing).
    Melibatkan ujicoba bahan ajar pada peserta pelatihan untuk memperolah bagian-bagian yang direvisi. Berdasar pada respon,
reaksi, dan komentar dari peserta pelatihan, bahan dimodifikasi. Siklus dari uji, revisi, dan uji lagi dilakukan berulang-ulang sehingga bahan dapat digunakan bersifat konsisten dan efektif.

4     Penyebaran (Disseminate) Bahan ajar sampai pada tahap produksi akhir jika uji pengembangan menunjukkan hasil yang konsisten dan hasil penilaian ahli merekomendasikan komentar positif.     Pengujian validitas (validating testing) .     Sebelum bahan (material) ajar disebarluaskan (disseminasi), evaluasi sumatif dilakukan. Pada fase tes validasi, bahan digunakan untuk menunjukkan: siapa yang belajar, di bawah apa, kondisi apa, dan bagaimana dengan waktunya. Bahan juga diuji melalui uji profesional dengan tujuan memperoleh masukan pada kecukupan dan relevansinya.
        Pengemasan (packaging).
    Pengemasan final, difusi, dan adopsi merupakan bagian penting meskipun bagian ini sering terlewatkan. Produser dan distributor harus dipilih dan dikerjakan secara kooperatif untuk mengemas bahan dalam bentuk yang diterima pengguna. Upaya khusus diperlukan untuk mendistribusikan bahan secara luas pada pelatih dan peserta pelatihan, dan mendorong adopsi dan utilisasi bahan.

        Difusi dan adopsi (diffusion and adoption).
   
Bagaimana jika model Four-D digunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran, yang akan digunakan untuk melaksanakan pembelajaran bagi anak-anak biasa (normal children)? Sebagaimana telah dikemukakan oleh Reynolds (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974), peneliti dapat menggunakan alur berpikir dan langkah-langkah model Four-D untuk bidang lainnya. Namun demikian, bagi peneliti yang penelitiannya berkaitan dengan pengembangan perangkat pembelajaran bagi anak-anak biasa perlu melakukan modifikasi pada kegiatan yang terkandung dalam setiap fase pengembangan model Four-D. Modifikasi semestinya dilakukan pada kegiatan yang terkandung dalam setiap langkah dan fase Four-D, bukan sekadar mengubah dari empat tahap menjadi tiga tahap.
Argumentasi pentingnya memodifikasi kegiatan perlu dipaparkan berdasar analisis dan penalaran logis dalam suatu desain penelitian, misalnya dalam bentuk skematik dan mencirikan proses dan kekhasan kegiatan dalam langkah-langkah penelitian yang dilakukan peneliti. Di samping itu, bagian terpenting dari penelitian pengembangan (development research) adalah perlu melakukan uji kualitas. Berkaitan dengan uji kualitas ini, Nieveen (1999) berpendapat sebagai berikut. Uji kualitas pengembangan perangkat pembelajaran meliputi uji kevalidan (validity), kepraktisan (practically), dan keefektifan (effectiveness) perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Di samping itu, hasil penelitian dapat diterapkan pada wilayah yang lebih luas.


Model Plomp

Rechey dan Nelson; Greeno, Collins dan Resnick adalah beberapa ahli pendidikan yang pernah melakukan penelitian pengembangan (development research) dalam bidang pembelajaran (Van den Akker, 1999). Teori-teori penelitian pengembangan banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan misalnya oleh van den Akker, Nieveen, Berg, Moonen, dan Plomp dari Universitas Twente Belanda; Gustafson, Reevers dari Universitas Georgia. Desain pengembangannya bervariasi, yang satu mungkin berbeda dengan lainnya dipengaruhi oleh karakteristik penelitian dan pendekatan yang dipakai. Pendekatan penelitian, misalnya eksperimen, survey, dan analisis korelasional oleh Van den Akker (1999: 2) digolongkan dalam pendekatan penelitian tradisional yang memfokuskan pada pengetahuan diskriptif dan kurang menekankan pada kepraktisan. Berbeda dengan penelitian tradisional, penelitian pengembangan menekankan pada keduanya kontribusi praktis (practical constribution) dan kontribusi ilmu pengetahuan (scientific constribution). Menurut Visscher-Voerman, Gustafson, dan Plomp (1999: 17) paradigma penelitian pengembangan terdiri dari empat paradigma: (1) paradigma instrumental (instrumental paradigm); (2) paradigma komunikatif (communicative paradigm); (3) paradigma pragmatis (pragmatic paradigm); dan (4) paradigma artistik (artistic paradigm).
Paradigma instrumental dikarakteristikkan dengan planning-by-objective, yakni rencana yang didasarkan pada tujuan. Analisis kebutuhan dan masalah dilakukan di awal proses pengembangan. Rumusan tujuan merupakan pusat dari model. Setelah merumuskan tujuan menentukan alat-alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Paradigma komunikatif ditentukan oleh keterlibatan orang-orang dalam penelitian. Mereka memiliki pendapat dan persepsi yang berbeda-beda tentang produk yang akan dihasilkan dalam penelitian pengembangan. Dengan adanya keterlibatan sosial dalam penelitian, menjadikan pencapaian dan kesimpulan penelitian diperoleh melalui konsensus dari berbagai pihak. Dengan demikian proses pengembangan dipengaruhi oleh aktivitas kegiatan sosial antar subjek (inter-subject). Paradigma pragmatis ditentukan oleh lingkungan sebagai tempat untuk implementasi produk dan penggunaannya. Implementasi produk dan penggunaannya merupakan bagian utama dari proses, misalnya dalam penelitian pengembangan dengan pendekatan prototipe. Penelitian dipandang berhasil jika prototipe yang dihasilkan dapat digunakan dan bermanfaat pada suatu lingkungan. Paradigma artistik berkaitan dengan realitas sosial. Eisner melukiskan realitas sosial sebagai berikut: ”social reality as negotiated, subjective, constructed, and having multiple perspective” (Visscher-Voerman, Gustafson, dan Plomp, 1999: 1). Dalam realitas sosial antara lain terjadi negosiasi, subyektif, konstruktif, dan memiliki berbagai perspektif. Van den Akker (1999) menyatakan di bawah payung penelitian pengembangan (development research) peneliti terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian. Dari segi yang lebih abstrak, peneliti dihadapkan pada ketidaktentuan dalam pengambilan keputusan untuk menyusun ‟intervensi‟ desain dan pengembangan. Istilah intervensi mencakup produk, program, materi, prosedur, skenario, pendekatan, dan lainnya. Semuanya ini dapat diklasifikasi dalam dua kategori: (1) penyediaan ide untuk mengoptimalkan kualitas intervensi yang dikembangkan; dan (2) memperumum, mengartikulasikan, dan menguji prinsip-prinsip desain. Prinsip-prinsip desain ini mengacu pada karakteristik intervensi dan prosedur pengembangannya. Untuk keperluan mengoptimalkan intervensi dalam penelitian pengembangan diperlukan desain penelitian yang luwes dan fleksibel.

Selengkapnya:
http://www.mediafire.com/?8fib5tbinug0qot