Minggu, 17 April 2011

Landasan dan Asas-Asas Pendidikan serta Penerapannya


Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematik – sistemik selali bertolak dari sejumlah landasan serta mengindahkan sejumlah asas – asas tettentu. Landasan – landasan pendidikan tersebut akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia indonesia, dan serentak dengan itu mendukung perkembangan masyarakat, bangsa dan negara. Beberapa dari landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis dan kultural yang memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan itu menjemput masa depan. Kajian berbagai landasan pendidikan itu akan dapat membentuk wawasan yang tepat tentang pendidikan. Pemahaman landasan dan asas pendidikan serta ketepatan wawasan yang menyertainya akan memberi peluang yang luas dalam pengambilan keputusan dan tindakan yang tepat. Pengkajian landasan dan asas pendidikan tersebut selalu diarahkan pula pada upaya dan permasalahan penerapannya.

A. Landasan Pendidikan
Pendidikan adalah suatu yang bersifat universal dan berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan kata lain pendidikan diselenggarakan berlandaskan filsafat hidup serta berlandaskan sosiokultural setiap masyarakat termasuk di Indonesia. Kajian ketiga landasan itu ( filosofis, sosiologis dan kultural ) akan membekali setiap tenaga kependidikan dengan wawasan dan pengetahuan yang tepat tentang bidang tugasnya.

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah – masalah pokok seperti : apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, tujuannya apa dan lain – lainnya. Landasan filosofis bersifat filsafat ( philosophi ). Filsafat sendiri bersumber dari bahasa yunani philein artinya mencintai dan sophos artinya hikmah atau arif. Filsafat menelaah sesuatu secara menyeluruh yang menghasilkan konsepsi – konsepsi mengenai kehidupan dan dunia yang bersumber dari dua faktor :

1) Religi dan etika yang bertumpu pada keyakinan.
2) Ilmu pengetahuan yang mengandalkan penalaran. Filsafat berada di antara keduanya.


Istilah filsafat dapat dalam dua pwndekatan yakni :

 Filsafat sebagai kelanjutan dari berpikir ilmiah, yang dapat dilakukan oleh setiap orang serta sangat bermanfaat dalam memberikan makna kepada ilmu pengetahuan itu.
 Filasafat sebagai kajian khusus yang formal yang mencangkup logika, tentang benar dan salah, etika,estetika,metafisika, serta sosial dan politik.

a. Pengertian tentang Landasan Filosofis
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia sedangkan filsafat mencoba menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pendidikan, seperti apa, mengapa, ke mana dan bagaimana dari pendidikan itu sendiri. Peranan filasafat dalam bidang pendidikan tersebut berkaitan dengan hasil kajian antara lain tentang :

a) Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk di dunia ini sebagai Zoon politicon, homo sapiens, animal educandum dan sebagainya.
b) Masyarakat dan kebudayaannya
c) Keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup yang banyak menghadapi tantangan.
d) Perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan.

Berbagai pandangan filosofis tentang manusia secara historis terdapat dua aliran yang saling bertentangan yakni idealisme dan naturalisme ( Abu Hanifah 1950 ). Selain itu berkembang beberapa aliran yang lain sehinga terdapat aliran – aliran filsafat materi, cita, hidup, hakikat, eksistensi dan wujud ( Beerling, 1951 : 40 ). Sedangkan Wayan Ardhana dan kawan – kawan mengemukakan bahwa aliran filsafat itu bukan hanya mempengaruhi pendidikan tetapi melahirkan aliran filsafat pendidikan, seperti :
a) Idealisme
b) Realisme
c) Perenialisme
d) Esensialisme
e) Pragmatisme dan progesivisme
f) Eksistensialisme

Sedangkan Waini Rasyidin ( dalam Redja Mudyahardjo, et. Al. 1992: 140-150 ) membedakan aliran filsafat dengan mazhab filsafat pendidikan yakni : aliran filsafat yang besar pengaruhnya terhadap pendidikan adalah idealisme, realisme, neothomisme dan pragmatimisme. Sedangkan mazhab filsafat pendidikan adalah esensialisme, perenialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
Naturalisme merupakan aliran filsafat yang menganggap segala kenyataan yang bisa ditangkap pancaindra sebagai kebenaran yang sebenarnya. Aliran ini disebut pula : realisme menekankan pada pengakuan adanya kenyataan hakiki yang objektif, di luar manusia. Positivisme mengemukakan bahwa kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu pasti dapat diamati dan atau di ukur.
Bertentangan dengan aliran di atas, idealisme menegaskan bahwa hakikat kenyataan adalah ide sebagai gagasan kejiwaan. Apa yang dianggap kebenaran realitas hanyalah bayangan dari ide sabagai kebenaran bersifat spiritual atau mental. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi nilai kegunaan praktis atau ukuran kebenaran suatu barabg didasarkan pada kemanfaatan dari sesuatu itu kepada manusia ( Abu Hanifah, 1950: 136 ). Salah seorang tokoh pragmatisme, john Dewey mengemukakan bahwa penerapan konsep pragmatisme eksperimental melalui lima tahap :
1) Situasi tak tentu, yakni timbulnya situasi ketegangan di dalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
2) Diagnosis, yakni mempertajam masalah termasuk perkiraan faktor penyebabnya.
3) Hipotesis, yakni penemuan gagasan yang diperkirakan dapat mengatasi masalah.
4) Pengujian hipotesis, yakni pelaksanaan berbagai hipotesis dan membandingkan hasilnya.
5) Evaluasi, yakni mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik dilaksanakan.

Bagi pragmatisme pendidikan adalah suatu proses eksperimental dan metode mengajar yang penting adalah metode pemecahan masalah. Namun ada progresivisme yang menentang pendidikan tradisional serta mengembangkan prinsip – prinsip antara lain :

1) Anak harus bebas agar dapat berkembang wajar.
2) Menumbuhkan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
3) Guru harus menjadi peneliti dan pembingbing kegiatan belajar.
4) Harus ada kerja sama sekolah dan rumah.
5) Sekolah proggresif harus merupakan suatu laboratorium untuk melakukan eksperimentasi ( Wayan Ardhana, 1986 : 16 – 17 ).

Selain itu filsafat yang bercorak keagamaan ikut pula mempengaruhi pemikiran pendidikan walaupun antara agama dan filsafat terjadi sedikit pertentangan. Selanjutnya perlu dikemukakan mazhab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya dalam penyelenggaraan pendidikan. Keempatnya itu ( Redja Mudyahardjo, et. Al. 1992: 144 – 150; Wayan Ardhana, 1986: 14 – 18 ) adalah :

1. Esensialisme
Essensialisme merupakan mazhab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme secara eklektis. Mazhab essensialisme mulai dominan di Eropa sejak ada pertentangan di antara para pendidik sehingga mulai timbul pemisahan antara pelajaran – pelajaran teoritik ( liberal arts ) yang memerdekakan akal dengan pelajaran – pelajaran praktek ( praktical arts ). Yang termasuk the liberal arts, yaitu :

a. Penguasaan bahasa termasuk retorika.
b. Gramatika.
c. Kesusastraan.
d. Filsafat.
e. Ilmu kealaman.
f. Matematika.
g. Sejarah.
h. Seni keindahan.

2. Perenialisme
Perenialisme memiliki sedikit persamaan dengan essensialisme karena sama – sama membela kurikulum tradisional. Adapun perbedaannya perenialisme menekankan teori kehikmatan yaitu :

o Pengetahuan yang benar ( truth ).
o Keindahan ( beauty ).
o Kecintaan pada kebaikan ( goodnes ).

Dinamakan perenialisme karena kurikulumnya berisi materi yang konstan atau perenial. Prinsip pendidikan itu antara lain :

 Konsep pendidikan itu bersifat abadi, karena hakikat manusia tak pernah berubah.
 Inti pendidikan haruslah mengembangkan kekhususan manusia yaitu kemampuan berpikir.
 Tujuan belajar adalah mengenal kebenaran abadi dan universal.
 Pendidikan merupakan persiapan untuk kehidupan sebenarnya.
 Kebenaran abadi itu diajarkan melalui pelajaran dasar.

Namun sebaiknya harus ada satu sistem pendidikan yang berlaku umum dan terbuka kepada umum yang mencangkup :

 Bahasa
 Matematika
 Logika
 Ilmu pengetahuan alam
 Sejarah

3. Pragmatisme dan Progresivisme
manusia dapat berkembang dengan baik apabila dapat berinteraksi dengan lingkungannya berdasarkan pemikiran, dan melalui pendidikan. Dalam proses pendidikan siswa harus belajar secara aktif dengan cara memecahkan masalah pendidik hanya sebagai fasilitator. Progresivisme mengembangkan teori pendidikan yang mendasarkan diri pada beberapa prinsip, antara lain :
a. Anak harus bebas untuk dapat berkembang secara wajar.
b. Pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang minat belajar.
c. Guru harus menjadi seorang peneliti dan pembingbing kegiatan belajar.
d. Sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk melakukan pedagosis dan eksperimentasi

4. Rekonstruksionisme
Mazhab rekonstruksionisme merupakan kelanjutan yang logis dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Untuk itu, sekolah perlu mengembangkan suatu ideologi kemasyarakatan yang demokratis. Uniknya mazhab ini teorinya mengenai peranan guru yakni pemimpin dalam metode proyek yang memberi peranan kepada murid cukup besar dalam proses pendidikan.

c. Pancasila sebagai Landasan Filosifis Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas )
Pasal dua UU – RI No 2 tahun 1989 menetapkan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pacasila dan Undang – undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU – RI No 2. Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan nasional termasuk di bidang pendidikan, adalah pengamalan Pancasila dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain : pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri ( Undang – Undang 1992: 24 ). Sedangkan MPR – RI No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menegaskan pula Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia. P4 atau Ekaprasetya sebagai petunjuk operasional pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari – hari, termasuk dalam bidang pendidikan. Pengamalan Pancasila itu haruslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam Pancasila itu. Petunjuk pengamalan Pancasila tersebut dapat pula disebut sebagai 36 butir nilai – nilai Pancasila sebagai berikut :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
1. Percaya dan takwa kepada Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing- masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan pemeluk kepercayaan yang berbeda – beda sehingga terbina kerukunan.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
5. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia.
6. Saling mencintai sesama manusia.
7. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
8. Tidak semena – mena terhadap orang lain.
9. Menjungjung tinggi nilai kemanusiaan.
10. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
11. Berani membela kebenaran dan keadilan.
12. Bangsa Indonesia merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh unat manusia sehingga sikap menghormati dan kerja sama dengan bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia
13. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
14. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
15. Cinta tanah air dan bangsa.
16. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
17. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber – Bhinneka Tunggu Ika.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
18. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
19. Tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
20. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
21. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
22. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
23. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
24. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan, menjungjung tinggi hatkat dan martabat serta nilai – nilai kebenaran dan keadilan.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
25. Mengembangkan perbuatan – perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan bergotong – royong.
26. Bersikap riil.
27. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
28. Menghormati hak – hak orang lain.
29. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
30. Menjauhi sikap pemerasan kepada orang lain.
31. Tidak bersifat boros.
32. Tidak bergaya hidup mewah.
33. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
34. Suka bekerja keras.
35. Menghargai hasil karya orang lain.
36. Bersama – sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

2. Landasan Sosiologis
Baik hewan atau manusia pasti hidup berkelompok atau sosial. Namun pengelompokan manusia jauh lebih sulit dari hewan. Menurut Wayan Ardhana hewan hidup berkelompok menurut ciri – ciri :

a. Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya.
b. Ada ketergantungan antar anggota.
c. Ada kerja sama antar anggota.
d. Ada komunikasi antar anggota.
e. Ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam satu kelompok dengan individu pada kelompok lainnya.

Kesemua ciri tersebut juga dapat ditemukan pada manusia. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Sosiologi lahir di eropa pada abad ke – 19. Nama sosiologi pertama kali dignakan oleh August Comte ( 1798 – 1857 ) pada tahun 1839. Dimana sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang mempelajari masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam realitas sosial sehingga banyak tumbuh cabang sosiologi yang lain seperti : Sosiologi kebudayaan, ekonomi, agama, pendidikan dan lainnya.

a. Pengertian tentang Landasan Sosiologis
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu sabagai pendidik dan peserta didik yang memungkinkan peserta didik sebagai generasi yang lebih muda untuk mengembangkan dirinya. Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola – pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari di sini meliputi :

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yang mempelajari :
a) Fungsi pendidikan dalam kebudayaan.
b) Hubungan sistem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c) Fungsi sistem pendidikan dalam memelihara dan mendorong proses sosial dan perubahan kebudayaan.
d) Hubungan pendidikan dengan kelas sosial atau status.
e) Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya dengan ras, kebudayaan, atau kelompok – kelompok dalam masyarakat.

2. Hubungan kemanusiaan di sekolah yang meliputi :
a) Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang berbeda dengan kebudayaan di luar sekolah.
b) Pola interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya, yang meliputi :
a) Peranan sosial guru
b) Sifat kepribadian guru
c) Pengaruh keprbadian guru terhadap tingkah laku siswa
d) Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak – anak

4. Sekolah dalam komunitas yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yang meliputi :
a) Pelukisan tentang komunitas seperti tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b) Analisis tentang proses pendidikan seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum tidak terpelajar.
c) Hubungan antara sekolah dan komunitas dalam fungsi pendidikannya.
d) Faktor – faktor demografi dan ekologi dalam hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat essensial sebagai sarana untuk memahami sistem pendidikan dalam kaitannya dengan keseluruhan hidup masyarakat ( Wayan Ardhana, 1986 : modul 1/67 )

b. Masyarakat Indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
( Sisdiknas )
Masyarakat mencangkup sekelompok orang yang berinteraksi anter sesamanya dan terikat oleh norma dan nilai – nilai serta adat istiadat dan tinggal di suatu wilayah tertentu, ada kalanya memiliki hubungan darah dan kepentingan bersama. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama antara lain :
 Ada interaksi antara warga – warganya.
 Pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat, norma – norma, hukum dan aturan – aturan yang khas.
 Ada rasa identitas kuat yang mengikat pada waraganya. Kesatuan wilayah, adat istiadat, rasa identitas, dan loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari kesatuan bangsa. ( Wayan Ardhana, 1986 : 1/68 ).

Begitu pula halnya dengan masyarakat di Indonesia, sampai saat ini masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni :
1. Secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan – kesatuan sosial atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat – istiadat dan kedaerahan.
2. Secara vertikal ditandai dengan adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan, menengah dan rendah.
Tetapi pada saat zaman penjajahan sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah :

1) Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok sosial atau golongan sosial jajahan yang sering kali memiliki sub – kebudayaan sendiri.
2) Memiliki struktur sosial yang terbagi – bagi.
3) Seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan konsensus di antara mereka terhadap nilai – nilai yang bersifat mendasar.
4) Terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi.
5) Adanya nominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok – kelompok sosial yang lain.
6) Secara relatif integrasi sosial sukar dapat tumbuh ( Wayan Ardhana, 1986: modul 1/70 ).

3. Landasan Kultural
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangkan menusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Dalam UU – RI Nao.2 Tahun 1989 pasal 1 ayat 2 ditegaskan bahwa yang dimaksudkan Sistem Pendidikan Nasional pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undand – Undang Dasar 1945. Dimaksudkan dengan kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma – norma, nilai – nilai, kepercayaan, tingkah laku dan teknologi yang dipelajari dan dimiliki semua anggota masyarakat.

a. Pengertian tentang Landasan Kultural
Kebudayaan sebagai gagasan dan karya manusia beserta hasil budi dan karya itu akan selalu terkait dengan pendidikan utamanya belajar. Kebudayaan dalam arti luas tersebut berwujud :
 Ideal seperti ide, gagasan, nilai dan lainnya.
 Kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat
 Fisik yakni benda hasil karya manusia ( Koentjaningrat, 1975 : 15 – 22 )

Kebudayaan dapat dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan karena dan melalui pendidikan. Baik kebudayaan yang berwujud ideal atau kelakuan dan teknologi dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Berbagai masyarakat ataupun suku bangsa yang ada di Indonesia mempunnyai cara tersendiri untuk mewariskan kebudayaannya, khususnya mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru. Pada dasarnya ada tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan yaitu informal, nonformal dan formal. Cara infomal terjadi dalam keluarga. Nonformal dalam masyarakat dan kehidupan sehari – hari dan formal dalam lembaga khusus yang bergerak di bidang pendidikan. Pada masyarakat primitif transmisi kebudayaan dilakukan secara informal dan nonformal sedangkan pada masyarakat yang lebih maju dilakukan secara informal, nonformal dan formal.

b. Kebudayaan Nasional sebagai Landasan Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas )
Yang dimaksudkan dengan Sisdiknas adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia ( UU-RI No 2/1989 ) ayat 1 dan 2. Karena masyarakat Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu adalah masyarakat mejemuk, maka kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih tepat disebut sebagai kebudayaan Nusantara yang beragam. Pada awal perkembanganya suatu kebudayaan terbentuk berkat kemampuan manusia mengatasi kehidupan alamiahnya dan kesengajaan manusia menciptakan lingkungan yang cocok bagi kehidupannya.
Salah satu upaya penyesuaian jalur sekolah dengan keragaman latar belakang sosial budaya di Indonesia adalah dengan memberlakukan muatan lokal di dalam kurikulum sekolah – sekolah di seluruh Indonesia. Belakangan ini makin kuat pendapat bahwa pendidikan seharusnya lebih diupayakan agar menjamin adanya rasa keterikatan antara peserta didik dengan lingkungannya. Peserta didik diharapkan tidak hanya mengenal lingkungannya baik alam, sosial dan budaya tetapi dapat mengembangkan lingkungannya itu sendiri.

4. Landasan Psikologis
Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Pada umunya landasan psikologis dari pendidikan tersebut terutama tertuju pada pemahaman manusia, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. Terdapat beberapa pandangan tentang hakikat manusia ditinjau dari segi psikologis dalam kaitannya dengan pendidikan, yakni strategi disposisional, behavioral, dan strategi phenomenologis/humanistik. Strategi disposisional terutama pandangan konstitusional dari Kretschmer dan Sheldon memberikan tekanan pada peranan faktor hereditas dalam perkembangan manusia. Pada strategi behavioral dan strategi phenomenologis ditekankan peranan faktor belajar dalam perkembangan tersebut, akan tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana proses belajar itu terjadi. Perbedaan pandangan tersebut dapat berdampak pula dalam pandangan tentang pendidikan.

a. Pengertian tentang Landasan Psikologis
Pemahaman peserta didik utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan, merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, contohnya pengetahuan tentang aspek – aspek pribadi dan ciri –ciri pertumbuhan setiap aspek juga konsep tentang cara – cara paling tepat untuk mengembangkannya. Untuk maksud itu psikologis menyediakan sejumlah informasi tentang kehidupan pribadi manusia pada umumnya serta gejala – gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi atau individu. Perbedaan individu terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya yang berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan sangat diperlukan untuk membantu mengembangkan kepribadian kita karena salah satu tujuan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian yang mantap dan mandiri.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dengan sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi dan potensi yang harus dikembangkan. Semakin kuat motif sebagai upaya pemenuhan kebutuhan itu, semakin kuat pula proses yang terjadi dan pada gilirannya akan semakin tinggi hasil belajar yang dapat dicapainya. Berbagai pendapat tentang motivasi tersebut didominasi oleh konsep – konsep nafsu atau kebutuhan. S. Freud menekankan peranan nafsu ( drive ) terhadap perilaku manusia, baik nafsu hidup ( libido ) maupun nafsu mati atau agresif ( thanatos ). Yang lainnya menurut A. Maslow kategorisasi kebutuhan – kebutuhan itu menjadi enam kelompok, mulai dari yang sederhana dan mendasar meliputi :

a) Kebutuhan fisiologis : kebutuhan untuk mempertahankan hidup.
b) Kebutuhan rasa aman : kebutuhan secara terus – menerus merasa aman dan bebas dari ketakutan.
c) Kebutuhan akan cinta dan pengakuan : kebutuhan berkaitan dengan kasih sayang dan cinta.
d) Kebutuhan harga diri : kebutuhan berkaitan dengan pengakuan oleh orang lain sebagai orang yang berkehendak baik.
e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri : kebutuhan untuk dapat melakukan sesuatu dan mewujudkan potensi – potensi yang dimiliki.
f) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami : kebutuhan yang berkaitan dengan iptek.

Menurut Maslow kebutuhan yang paling utama adalah kebutuhan fisiologis, dan individu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ini sebelum mengejar kebutuhan akan rasa aman. Adapun kajian psikologis yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir dan belajar. Kecerdasan umum banyak dipengaruhi oleh kemampuan potensial : namun kemampuan potensial itu hanya akan aktual apabila dikembangkan dalam situasi yang kondusif. Kecerdasan aktual terbentuk karena adanya pengalaman. Pengembangan kecerdasan itu akan terwujud dalam berbagai bentuk kemampuan berpikir, baik berpikir konvergen dan divergen, maupun berpikir intuitif dan reflektif. Berpikir konvergen ( memusat ) terutama bersifat logis – konvensional, sedangkan berpikir divergen ( memencar ) terutama bersifat inovatif – kreatif. Berpikir reflektif dapat dipakai untuk memecahkan masalah. Dewey ( 1910, Wayan Ardhana 1986: modul 1/47 ) mengajukan lima langkah pokok untuk memecahkan masalah :

1. Menyadari dan merumuskan suatu kesulitan.
2. Mengumpulkan informasi yang relavan.
3. Merakit dan mengklarifikasi data serta merumuskan hipotesis – hipotesis.
4. Menerima atau menolak hipotesis tentatif.
5. Merumuskan kesimpulan dan mengadakan evaluasi.

Sedangkan James Conant ( 1951, Wayan Ardhana 1986: modul 1/47 ) mengajukan enam langkah dalam pemecahan masalah yaitu:

1. Menyadari dan merumuskan sesuatu.
2. Mengumpulkan informasi yang relavan.
3. Merumuskan hipotesis.
4. Mengadakan proses deduksi dari hipotesis.
5. Menguji hipotesis dalam situasi aktual.
6. Menerima, mengubah atau menolak hipotesis.

b. Perkembangan Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis
Peserta didik selalu dalam proses perubahan baik karena pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan terutama karena pengaruh faktor internal sebagai akibat kematangan dari proses pendewasaan, sedangkan perkembangan karena pengaruh dari lingkungan. Perkembangan manusia berlangsung sejak konsepsi ( pertemuan ovum dan sperma ) sampai saat kematian, sebagai perubahan maju atau pun kemunduran. Tumbuh kembang manusia sepanjang hidupnya sering dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu : masa pranatal atau sebelum lahir dan postnatal atau sesudah lahir yang meliputi masa bayi, anak – anak, sekolah, remaja, pendewasaan, tua dan kemudian kematian. Salah satu aspek dari pengembangan manusia seutuhnya adalah berkaitan dengan perkembangan kepribadian, utamanya agar dapat diwujudkan kepribadian yang mantap dan mandiri. Di bawah ini beberapa prinsip umum mengenai perkembangan kepribadian, disebut prinsip umum karena :

 Prinsip itu mungkin dirumuskan dengan variasi tertentu dalam berbagai teori kepribadian.
 Prinsip itu akan tampak bervariasi pada kepribadian manusia tertentu karena kepribadian itu unik.

Salah satu prinsip perkembangan kepribadian ialah bahwa perkembangan kepribadian mencangkup aspek behavioral maupun aspek motivasional : dengan perkembangan kepribadian, bukan hanya perubahan dari tingkah laku yang tampak, tetapi juga perubahan dari yang mendorong tingkah laku itu sendiri. Prinsip kedua dari perkembangan kepribadian adalah bahwa kepribadian mengalami perkembangan yang menerus dan tidak terputus – putus, meskipun pada suatu periode tertentu akan mengalami perkembangan yang cepat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Seperti yang diketahui bersama perkembangan kepribadian pertama kali dipengaruhi faktor keluarga yang juga dipengaruhi oleh faktor hereditas saperti fisik, inteligensi dan lainnya. Alexander tegas mengemukakan tiga faktor utama yang bekerja dalam menentukan pola kepribadian seseorang yakni :

1. Bekal hereditas individu.
2. Pengalaman awal keluarga.
3. Peristiwa penting dalam hidupnya di luar lingkungan keluarga ( Hurlock, 1974 : 19 ).

Selanjutnya ada dua hal tentang kepribadian yang penting ditinjau dari konteks perkembangan kepribadian yaitu :

1) Terintegrasinya seluruh komponen kepribadian ke dalam struktur yang terorganisir secara sistemik.
2) Terjadinya pola – pola tingkah laku yang konsisten dalam menghadapi lingkungannya.

Di bawah ini bagan berbagai pengaruh dalam pembentukan konsep diri ( L.D. Crow dan A. Crow. 1962, Child Development and Adjustment, dikutip dari Hurlock, 1974 : 20 ).





Dari bagan di atas terdapat sejumlah faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan “konsep diri” diri anak dan dengan demikian ikut mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Selain faktor keluarga dan hereditas faktor sekolah dalam hal ini pendidik dan lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian.

5. Landasan Ilmiah dan Teknologis
Pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai kaitan yang sangat erat. Seperti yang diketahui, iptek menjadi bagian utama dalam isi pengajaran, sehingga pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang semakin komplek maka pendidikan dalam segala aspeknya mau tak mau harus mengakomodasi perkembangan itu, baik perkembangan iptek maupun perkembangan masyarakat. Selanjutnya karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak maka banyak teknologi dari berbagai bidang ilmu segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan atau kemajuan itu segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan itu.

a. Pengertian tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ( IPTEK )
Terdapat istilah yang berkaitan dengan pendidikan yakni pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi serta istilah lain yang terkait dengannya. Pengetauan atau knowledge adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui berbagai cara pengindraan terhadap fakta, penalaran, intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang memenuhi kriteria dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis secara konsekuen dan penuh disiplin biasa disebut ilmu pengetahuan atau science.
Landasan antologis berkaitan dengan objek yang ditelaah oleh ilmu adalah apa yang ingin diketahui oleh ilmu, bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia?. Seperti diketahui ilmu membatasi objeknya pada fakta yang dapat ditangkap oleh alat indra, baik secara langsung ataupun bantuan dari alat lain. Untuk itu ilmu mempunyai tiga asumsi tentang objek empiris itu yakni :

1. Objek – objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain yang memungkinkan dilakukan klasifikasi.
2. Objek dalam jangka waktu tertentu tidak mengalami perubahan.
3. Adanya determinasi, bahwa suatu gejala bukan merupakan kejadian yang kebetulan tetapi mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap ( Jujun S. Suriasumantri, 1978 : 5-8 ).

Landasan epistemologis dari ilmu berkaitan dengan segenap proses untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, yakni bagaimana prosedurnya, apakah yang harus diperhatikan agar diperoleh kebenaran, sarana apa yang membantu untuk mendapatkannya?. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang disebut metode keilmuan.
Landasan aksiologis dari ilmu berkaitan dengan manfaat pengetahuan ilmiah itu, yaitu : untuk apa pengetahuan ilmiah itu dipergunakan, bagaimana kaitannya dengan nilai moral ? ilmu telah berjasa mengubah wajah dunia dalam berbagai bidang serta memajukan kesejahteraan manusia. Seperti telah dikemukakan pengetahuan yang memenuhi ketiga landasan itu yang disebut ilmu atau ilmu pengetahuan. Oleh karena itu istilah ilmu atau ilmu pengetahuan itu dapat bermakna kumpulan informasi, cara memperoleh informasi serta manfaat dari informasi itu. Ketiganya harus mendapat perhatian yang seimbang agar pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.

b. Perkembangan Iptek sebagai Landasan Ilmiah
Iptek merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk kehidupan yang lebih baik, yang telah dimulai pada permulaan kehidupan manusia. Pada zaman mesir, babylonia, hindu, yunani kuno, perkembangan islam, perkembangan teknologi telah terlihat pada kehidupan masyarakatnya. Sekarang ini keterampilan harus diberikan sedini mungkin mulai dari keluarga dan sekolah dasar agar keterampilan dan sikap ilmiah tersebut serentak akan meletakkan dasar terbentuknya masyarakat yang sadar iptek dan calon – calon pakar teknologi yang baru.

B. Asas – Asas Pokok Pendidikan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidika. Khusus untuk pendidikan di Indonesia terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Dari berbagai asas tersebut, akan dibahas tiga asas yaitu tut wuri handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Ketiga asas itu dipandang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini atau masa depan. Setiap tenaga kependidikan harus memahami dengan tepat ketiga asas tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya dalam penyelenggaraan pendidikan sehari – harinya.

1. Asas Tut Wuri Handayani
Asas Tut Wuri Handayani yang sekarang menjadi semboyan dari Depdikbud, pada awalnya merupakan salah satu “asas 1992” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1992. Sebagai asas pertama tut wuri handayani merupakan sistem among dari perguruan itu. Asas ini dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, mendapat tanggapan positif dari seorang ahli bahasa Drs. R.M.P. Sostrokartono yang menambahkan dua semboyan untuk melengkapinya yakni Ing Ngarso Sung Tulada dan Ing Madya Mangun Karsa ( Raka Joni, et. Al. 1985 : 38; Wawasan Kependidikan Guru, 1982 : 93 ). Dan saat ini ketiga semboyan itu tidak dapat dipisahkan dan menjadi satu kesatuan, yakni :

 Ing ngarsa sung tulada ( jika di depan menjadi contoh )
 Ing madya mangun karsa ( jika di tengah – tengah memberikan motivasi )
 Tut wuri handayani ( jika di belakang mengikuti dengan awas )

Agar diperoleh latar keberlakuan dari asas tut wuri handayani, perlu dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa tersebut. Ketujuh asas tersebut yang secara singkat disebut “ asas 1992 “ sebagai berikut :

1. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perkehidupan umum.
2. Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir dan bathin dapat memerdekakan diri.
3. Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
4. Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
5. Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh – penuhnya lahir maupun batin hendaklah diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apa pun dan dari siapa pun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir dan batin.
6. Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
7. Bahwa dalam mendidik anak – anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak – anaknya.

Dimana dari ketujuh asas tersebut, asas tut wuri handayani menjadi inti dari asas pertama yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur diri sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum. Jadi ketiga asas itu : ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani telah menjadi asas penting pendidikan Indonesia.

2. Asas Belajar Sepanjang Hayat
Asas belajar sepanjang hayat ( life long learning ) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup ( life long education ). Pendidikan ini merupakan a concept ( P. Lengrand 1970 )yang new significance of an old idea ( Dave, 1973 ) tetapi universally acceptable definition is difficult ( Cropley,1979 ). UNESCO institute for education ( UIE Hamburg ) menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus :

1. Meliputi seluruh hidup setiap individu.
2. Mengarah kepada pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya.
3. Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri setiap individu.
4. Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
5. Mengakui kontribusi dari semua pangaruh pendidikan yang mungkin terjadi termasuk yang formal, nonformal dan informal ( Cropley, 1970: 2-3; Sulo Lipu La Sulo, 1990: 25-26 ).

Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar – mengajar di sekolah seyogianya mengemban sekurang – kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif dan serentak dengan itu meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang hayat. Kurikulum yang mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi ( Hameyer, 1979: 67-81; Sulo Lipu La Sulo, 1990: 28-30 ) sebagai berikut:

a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi : di samping keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Termasuk dalam dimensi vertikal itu antara lain tentang :

1. Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa depan dan pengintregasian masalah kehidupan nyata dalam kurikulum.
2. Kurikulum dan perubahan sosial – kebudayaan: kurikulum semestinya memungkinkan antipasi terhadap perubahan sosial – kebudayaan itu peserta didik justru akan hidup dalam sosial – kebudayaan yang telah berubah setelah menamatkan sekolahnya.
3. “ the forecasting curriculum” yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis, baik tentang perilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku, maupun saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa depan.
4. Keterpaduan bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan terutama dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu.
5. Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun dalam bidang sosial, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama – sama membangun masyarakatnya.
6. Pengintregasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar dan seterusnya.
7. Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan dan pengembangan kepribadian.

b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Yang termasuk dimensi horizontal antara lain :

1. Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah : kehidupan di luar sekolah menjadi objek refleksi teoritis di dalam bahan ajaran sekolah, sehingga peserta didik lebih mengalami persoalan – persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah.
2. Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah: kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat kajian empiris, sehingga kegiatan belajar – mengajar terjadi di dalam dan luar sekolah.
3. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar – mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah maupun dalam kegiatan belajar di luar sekolah.

Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber – sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat.

3. Asas Kemandirian dalam Belajar
Kedua asas sebelumnya yaitu asas tut wuri handayani dan asas belajar sepanjang hayat erat kaitannya dengan asas kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Selanjutnya asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi pesereta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena adalah tidak mungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya apabila terus tergantung pada orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utamanya sebagai fasilitator dan motivator di samping peran lainnya. Guru dalam memberikan pengajaran terdapat beberapa strategi belajar – mengajar yang dapat mengembangkan kemandirian dalam belajar. Salah satunya adalah Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA ) yang dapat memberi peluang bagi siswa untuk bertangung jawab terhadap hal tertentu dalam belajar – mengajar di lembaga. Hal itu akan dapat terlaksana dengan baik bila setiap lembaga pendidikan umpama sekolah memiliki Pusat Sumber Belajar ( PSB ) yang memadai. Karens PSB itu memberi peluang tersedianya berbagai sumber belajar baik cetak ataupun elektronik. Dengan dukungan PSB itu asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan