Senin, 18 April 2011

Skema Model Pengembangan Pendidikan


Ada banyak jenis penelitian yang dilakukan, baik oleh akademisi maupun oleh peneliti. Penelitian dan pengembangan merupakan penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2009: 407). Jenis penelitian ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah produk. Produk yang dihasilkan dapat berupa produk yang betul-betul atau produk hasil pengembangan dari produk yang sudah ada. Menurut Borg and Gall (1979: 624), educational research and development is a process used to develop and validate educational product. Penelitian pengembangan pendidikan adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Hasil dari penelitian  pengembangan tidak hanya pengembangan sebuah produk yang sudah ada melainkan juga untuk menemukan pengetahuan atau jawaban atas permasalahan praktis.
Dan menurut (Richey and Klein, 2007: 1), pengembangan adalah proses penterjemahaan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik yang berkaitan dengan desain belajar sistematik, pengembangan dan evaluasi memproses dengan maksud menetapkan dasar empiris untuk mengkreasikan produk pembelajaran dan non-pembelajaran yang baru atau model peningkatan pengembangan yang sudah ada.
Ada beberapa model penelitian pengembangan dalam bidang pendidikan, antara lain model Borg and Gall dan model Sugiyono. Menurut Borg and Gall (1979: 626), langkah-langkah penelitian pengembangan ada 10, yaitu :
1.    Research and information collecting - Melakukan penelitian pendahuluan dan pengumpulan data awal untuk kaji pustaka, pengamatan kelas, identifikasi permasalahan dan merangkum permasalahan.
2.    Planning - Melakukan perencanaan yaitu identifikasi dan definisi keterampilan, perumusan tujuan, dan uji ahli atau ujicoba pada skala kecil, atau expert judgement.
3.    Develop preliminary form of product - Mengembangkan jenis/bentuk produk awal meliputi: penyiapan materi pembelajaran, penyusunan buku petunjuk, dan perangkat evaluasi
4.    Preliminary field testing - Melakukan uji coba lapangan tahap awal, dilakukan terhadap 1-3 sekolah menggunakan 6-12 subjek. Pengumpulan informasi/data dengan menggunakan observasi, wawancara, dan kuesioner, dan dilanjutkan analisis data
5.    Main product revision - Melakukan revisi terhadap produk utama, berdasarkan masukan dan saran-saran dari hasil uji lapangan awal
6.    Main field testing - Melakukan uji coba lapangan utama, dilakukan terhadap 5-15 sekolah, dengan 30-100 subjek
7.    Operational product revision - Melakukan revisi terhadap produk operasional, berdasarkan masukan dan saran-saran hasil uji lapangan utama
8.    Operational field testing - Melakukan uji lapangan operasional (dilakukan terhadap 10-30 sekolah, melibatkan 40-200 subjek), data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan kuesioner
9.    Final produk]ct revision - Melakukan perbaikan terhadap produk akhir, berdasarkan saran dalam uji coba lapangan
10.    Dissemination dan distribution - Mendesiminasikan dan mengimplementasikan produk, melaporkan dan menyebarluaskan produk melalui pertemuan dan jurnal ilmiah, bekerjasama dengan penerbit untuk sosialisasi produk untuk komersial, dan memantau distribusi dan kontrol kualitas
Dan menurut Sugiyono (2009: 409) penelitian dan pengembangan terdiri dari 10 langkah, yaitu :
1.    Potensi dan masalah – penelitian harus berangkat dari potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang memiliki nilai tambah sedangkan masalah perbedaan antara harapan dan kenyataan.
2.    Pengumpulan data – pengumpulan berbagai data yang diperlukan dalam perancangan produk
3.    Desain produk – pembuatan rancangan produk awal yang akan dibuat lengkap dengan spesifikasinya.
4.    Validasi desain – proses penilaian terhadap rancangan berdasarkan pemikiran rasional bukan fakta dilapangan, dengan cara menghadirkan tenaga ahli yang sesuai.
5.    Revisi desain – koreksi dari ahli dijadikan untuk bahan perbaikan produk.
6.    Ujicoba produk – hasil dari dari perbaikan dibuat prototipe jadi, kemudian diujicobakan penggunaannya pada kelompok terbatas. Desain ujicoba produk menggunakan desain eksperimen dengan cara membandingkan keadaan sebelum dan sesudah menggunakan produk (before-after) atau menggunakan kelompok kontrol (prestest-postest group desain). Kemudian dilakukan uji efektifitas dengan menggunakan uji-t.
7.    Revisi produk – proses perbaikan produk berdasarkan saran da hasil uji efektivitas pada uji coba produk.
8.    Ujicoba pemakaian – ujicoba produk pada kelompok yang lebih luas dan tetap dinilai kekurangan dan hambatan yang muncul untuk perbaikan lebih lanjut.
9.    Revisi produk - Perbaikan dilakukan apabila ada saran perbaikan dan usulan pada ujicoba pada kelompok luas.
10.    Produksi massal – Setelah beberapa kali pengujian dan dinilai effektif maka dapat dilakukan produksi secara massal.

Perancangan Produk
Pada proses perancangan produk, maka peneliti harus menggunakan sebuah model perancangan untuk membuat rancangan produk awal tersebut. Ibaratnya jika kita mengembangkan sebuah model baju, maka akan menggunakan rancangan apa, misalnya rancangan baju batik solo, baju batik yogyakarta dll.
Menurut Gustafson (2002: 18), ada beberapa model pengembangan pembelajaran yang dapat digunakan dalam merancang sebuah produk pendidikan. Model rancangan harus disesuaikan dengan model produk yang akan dibuat.

1.     Classroom-Oriented Models
Classroom-Oriented Models adalah model yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang berlangsung di kelas baik pendidik maupun peserta didik. Hal ini berkaitan erat dengan bahan ajar, perencanaan strategi pembelajaran, pemilihan media pembelajaran, sistem penyampaian dan evaluasi. Beberapa model yang bisa digunakan dalam perancangan model yang berorientasi kelas adalah:
•    Model Gerlach dan Ely
•    Model Heinich, Molenda, Russel dan Smaldino
•    Model Newby, Stepich, Lehman dan Russel
•    Model Morrison, Ross dan Kemp

2.    Product-Oriented Models
Karakteristik model pengembangan produk mempunyai empat asumsi, yaitu: (1) Produk pembelajaran yang diperlukan (2) Pengembangan yang perlu dan penting pada produk yang sudah ada (3) penekanan pada uji coba dan revisi (4) produk harus dapat digunakan. Ada beberapa model yang dapat digunakan untuk proses perancangan model yang berorientasi produk, yaitu:
•    Model Bergman and Moore
•    Model de Hoog, de Jong dan de Vries
•    Model Nieveen
•    Model Seels and Glasgow

3.   System-Oriented Models
Model perancangan yang berorientasi sistem diantaranya:
•    The Interservice Procedures for Instructional Systems Development (IPISD) Models
•    The Gentry Models
•    The Dorsey, Goodrum dan Schwen Model
•    The Diamond Model
•    The Smith and Ragan Model
•    The Dick, Carey dan Carey Model


Model Kemp

Model pengembangan instruksional menurut Kemp (1977), atau yang disebut disain instruksional, terdiri dari delapan langkah, yaitu:
1)    Menentukan tujuan istruksional umum (TIU), yaitu tujuan yang ingin dicapai dalam mengajarkan masing-masing pokok bahasan;
2)    Membuat analisis tentang karakteristik siswa. Analisis ini diperlukan antaral lain untuk mengetahui, apakah latar belakang pendidikan, dan sosial budaya siswa memungkinkan untuk mengikuti program, dan langkah-langkah apa yang perlu diambil;
3)    Menentukan tujuan instruksional secara spesifik, operasional, dan terukur. Dengan demikian siswa akan tahu apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan apa ukurannya bahwa dia telah berhasil. Dari segi pengajar rumusan itu akan berguna dalam menyusun tes kemampuan/keberhasilan dan pemilihan materi yang sesuai;
4)    Menetukan materi/bahan pelajaran yang sesuai dengan TIK;
5)    Menetapkan penjajagan awal (pre-assessment). Ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah memenuhi prasyarat belajar yang dituntut untuk mengikuti program yang bersangkutan. Dengan demikian pengajar dapat memilih materi yang diperlukan tanpa harus menyajikan yang tidak perlu, dan siswa tidak menjadi bosan;
6)    Menentukan strategi belajar-mengajar yang sesuai. Criteria umum untuk pemilihan strategi belajar-mengajar yagn sesuai dengan tujuan instruksional khusus tersebut adalah:
a.    Efisiensi
b.    Keefektifan
c.    ekonomis
d.    kepraktisan, melalu suatu analisis alternatif;
7)    Mengkoordinasikan saranan penunjang yang diperlukan yang diperlukan meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu, dan tenaga, dan
8)    Mengadakan evaluasi. Evaluasi ini sangat perlu untuk mengontrol dan mengaji keberhasilan program secara keseluruhan, yaitu
a.    Siswa
b.    program instruksional
c.    instrumen evaluasi/tes
d.    metode.
Dalam diagram, bentuk model desain instruksional Kemp tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


Diagram Kemp


Model Pengembangan Gerlach dan Ely

Model yang dikembangkan oleh Gerlach dan Ely (1971) dimaksudkan sebagai pedoman perencanaan mengajar. Pengembangan sistem instruksional menurut model ini melibatkan sepuluh unsur seperti terlihat dalam flow chart di halaman berikut.















1)    Merumuskan tujuan.
Tujuan instruksional harus dirumuskan dalam kemampuan apa yang harus dimiliki pada tingkat jenjang belajar tertentu.
2)    Menentukan isi materi.
Isi materi berbeda-beda menurut bidang studi, sekolah, tingkatan dan kelasnya, namun isi materi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya.
3)    Menurut kemampuan awal.
Kemampuan awal siswa ditentukan dengan memberikan tes awal. Pengetahuan tentang kemampuan awal siswa ini penting bagi pengajar agar dapat memberikan dosis pelajaran yang tepat; tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Pengetahuan tentang kemampuan awal juga berguna untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, misalnya apakah perlu persiapan remedial.
4)    Menentukan teknik dan strategi.
Menurut Gerlach dan Ely, strategi merupakan pendekatan yang dipakai pengajar dalam memanipulasi informasi, memilih sumber-sumber, dan menentukan tugas/peranan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan perkataan lain, pada tahap ini pengajar harus menentukan cara untuk dapat mencapai tujuan instruksional dengan sebaik-baiknya. Dua bentuk umum tentang pendekatan ini adalah berntuk eksopose (espository) yang lazim dipergunakan dalam kuliah-kuliah tradisional, biasanya lebih bersifat komunikasi satu arah, dan bentuk penggalian (inquiry) yang lebih mengutamakan partisipasi siswa dalam proses belajar-mengajar. Dalam pengertian instruksional yang sempit, metode ini merupakan rencana yang sistematis untuk menyajikan pesan atau informasi instruksional.
5)    Pengelompokan belajar.
Setelah menentukan pendekatan dan metode, pengajar harus mulai merencanakan bagaimana kelompok belajar akan diatur. Pendekatan yang menghendaki kegiatan belajar secara mandiri dan bebas (independent study) memerlukan pengorganisasian yang berbeda dengan pendekatan yang memerlukan banyak diskusi dan partisipasi aktif siswa dalam ruang yang kecil, atau untuk mendengarkan ceramah dalam ruang yang luas.
6)    Menentukan pembagian waktu.
Pemilihan strategi dan teknik untuk ukuran kelompok yang berbeda-beda tersebut mau tidak mau akan memaksa pengajar memikirkan penggunaan waktunya, yaitu apakah sebagian besar waktunya harus dialokasikan untuk presentasi atau pemberian informasi, untuk pekerjaan laboratorium secara individual, atau untuk diskusi. Mungkin keterbatasan ruangan akan menuntut pengaturan yang berbeda pula karena harus dipecah ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.
7)    Menentukan ruang.
Sesuai dengan tiga alternative pengelompokan belajar seperti pada no.5, alokasi ruang ditentukan dengan menjawab apakah tujuan belajar dapat dipakai secara lebih efektif dengan belajar secara mandiri dan bebas, berinteraksi antarsiswa, atau mendegarkan penjelasan dan bertatap muka dengan penagajar.
8)    Memilih media instruksional yang sesuai.
Pemilihan media ditentukan menurut tanggapan siswa yang disepakati. Jadi tidak sekadar yang dapat memberikan stimulus rangsangan belajar. Gerlach dan Ely mambagi media sebagai sumber belajar ini ke dalam lima katergori, yaitu:
a.    manusia dan  benda nyata
b.    media visual proyeksi
c.    media audio
d.    media cetak
e.    media display.
9)    Mengevaluasi hasil belajar.
Kegiatan belajar adalah interaksi antara pengajar dan siswa, interaksi antara siswa dna media instruksional. Hakiakat belajar adalah perubahan tingkah laku belajar pada akhir kegiatan instruksional. Semua usaha kegiatan pengembangan instruksional di atas dapat dikatakan berhasil atau tidak setelah tingkah laku akhir belajar tersebut dievaluasi. Instrumen evaluasi dikembangkan atas dasar rumusan tujuan dan harus dapat mengukur keberhasilan secara benar dan objektif. Oleh sebab itu, tujuan instruksional harus dirumuskan dalam tingkah laku belajar siswa yang terukur dan dapat diamati.
10)    Menganalisis umpan balik.
Analisis umpan balik merupakan tahap terakhir dari pengembangan sistem instruksional ini. Data umpan balik yang diperoleh dari evaluasi, tes, observasi, maupun tanggapan-tanggapan tentang usaha-usaha instruksional ini menentukan, apakah sistem, metode, maupun media yang dipakai dalam kegiatan instruksional tersebut sudah sesuai untuk tujuan yang ingin dicapai atau masih perlu disempurnakan.


Model ASSURE

Model ASSURE merupakan suatu model yang merupakan sebuah formulasi untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau disebut juga model berorientasi kelas. Menurut Heinich et al (2005) model ini terdiri atas enam langkah kegiatan yaitu:
Analyze Learners
States Objectives
Select Methods, Media, and Material
Utilize Media and materials
Require Learner Participation
Evaluate and Revise
i) Analisis Pelajar
Menurut Heinich et al (2005) jika sebuah media pembelajaran akan digunakan secara baik dan disesuaikan dengan ciri-ciri belajar, isi dari pelajaran yang akan dibuatkan medianya, media dan bahan pelajaran itu sendiri. Lebih lanjut Heinich, 2005 menyatakan sukar untuk menganalisis semua cirri pelajar yang ada, namun ada tiga hal penting dapat dilakuan untuk mengenal pelajar sesuai .berdasarkan cirri-ciri umum, keterampilan awal khusus dan gaya belajar
ii) Menyatakan Tujuan
Menyatakan tujuan adalah tahapan ketika menentukan tujuan pembelajaran baik berdasarkan buku atau kurikulum. Tujuan pembelajaran akan menginformasikan apakah yang sudah dipelajari anak dari pengajaran yang dijalankan. Menyatakan tujuan harus difokuskan kepada pengetahuan, kemahiran, dan sikap yang baru untuk dipelajari
iii) Pemilihan Metode, media dan bahan
Heinich et al. (2005) menyatakan ada tiga hal penting dalam pemilihan metode, bahan dan media yaitu menentukan metode yang sesuai dengan tugas pembelajaran, dilanjutkan dengan memilih media yang sesuai untuk melaksanakan media yang dipilih, dan langkah terakhir adalah memilih dan atau mendesain media yang telah ditentukan.
iv) Penggunaan Media dan bahan
Menurut Heinich et al (2005) terdapat lima langkah bagi penggunaan media yang baik yaitu, preview bahan, sediakan bahan, sedikan persekitaran, pelajar dan pengalaman
pembelajaran.
v) Partisipasi Pelajar di dalam kelas
Sebelum pelajar dinilai secara formal, pelajar perlu dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran seperti memecahkan masalah, simulasi, kuis atau presentasi.
vi) Penilaian dan Revisi
Sebuah media pembelajaran yang telah siap perlu dinilai untuk menguji keberkesanan dan impak pembelajaran. Penilaian yang dimaksud melibatkan beberaoa aspek diantaranya menilai pencapaian pelajar, pembelajaran yang dihasilkan, memilih metode dan media, kualitas media, penggunaan guru dan penggunaan pelajar.


Model ADDIE

Ada satu model desain pembelajaran yang lebih sifatnya lebih generik yaitu model ADDIE (Analysis-Design-Develop-Implement-Evaluate). ADDIE muncul pada tahun 1990-an yang dikembangkan oleh Reiser dan Mollenda.Salah satu fungsinya ADIDE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri.
Model ini menggunakan 5 tahap pengembangan yakni :
1. Analysis (analisa)
2. Design (disain / perancangan)
3. Development (pengembangan)
4. Implementation (implementasi/eksekusi)
5. Evaluation (evaluasi/ umpan balik)
Langkah 1: Analisis
Tahap analisis merupakan suatu proses mendefinisikan apa yang akan dipelajari oleh peserta belajar, yaitu melakukan needs assessment (analisis kebutuhan), mengidentifikasi masalah (kebutuhan), dan melakukan analisis tugas (task analysis). Oleh karena itu, output yang akan kita hasilkan adalah berupa karakteristik atau profile calon peserta belajar, identifikasi kesenjangan, identifikasi kebutuhan dan analisis tugas yang rinci
didasarkan atas kebutuhan.
Langkah 2: Desain
Tahap ini dikenal juga dengan istilah membuat rancangan (blueprint). Ibarat bangunan, maka sebelum dibangun gambar rancang bangun (blue-print) diatas kertas harus ada terlebih dahulu. Apa yang kita lakukan dalam tahap desain ini? Pertama merumuskan
tujuan pembelajaran yang SMAR (spesifik, measurable, applicable, dan realistic). Selanjutnya menyusun tes, dimana tes tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yag telah dirumuskan tadi. Kemudian tentukanlah strategi pembelajaran yang tepat harusnya seperti apa untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini ada banyak pilihan kombinasi metode dan media yang dapat kita pilih dan tentukan yang paling relevan. Disamping itu, pertimbangkan pula sumber-sumber pendukung lain, semisal sumber belajar yang relevan, lingkungan belajar yang seperti apa seharusnya, dan lain-lain. Semua itu tertuang dalam sautu dokumen bernama blue-print yang jelas dan rinci.
Langkah 3: Pengembangan
Pengembangan adalah proses mewujudkan blue-print alias desain tadi menjadi kenyataan. Artinya, jika dalam desain diperlukan suatu software berupa multimedia pembelajaran, maka multimedia tersebut harus dikembangkan. Atau diperlukan modul cetak, maka modul tersebut perlu dikembangkan. Begitu pula halnya dengan lingkungan belajar lain yang akan mendukung proses pembelajaran semuanya harus disiapkan dalam tahap ini. Satu langkah penting dalam tahap pengembangan adalah uji coba sebelum diimplementasikan. Tahap uji coba ini memang merupakan bagian dari salah satu langkah ADDIE, yaitu evaluasi. Lebih tepatnya evaluasi formatif, karena hasilnya digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran yang sedang kita kembangkan.
Langkah 4: Implementasi
Implementasi adalah langkah nyata untuk menerapkan sistem pembelajaran yang sedang kita buat. Artinya, pada tahap ini semua yang telah dikembangkan diinstal atau diset sedemikian rupa sesuai dengan peran atau fungsinya agar bisa diimplementasikan. Misal, jika memerlukan software tertentu maka software tersebut harus sudah diinstal. Jika penataan lingkungan harus tertentu, maka lingkungan atau seting tertentu tersebut juga harus ditata. Barulah diimplementasikan sesuai skenario atau desain awal.
Langkah 5: Evaluasi
Evaluasi adalah proses untuk melihat apakah sistem pembelajaran yang sedang dibangun berhasil, sesuai dengan harapan awal atau tidak. Sebenarnya tahap evaluasi bisa terjadi pada setiap empat tahap di atas. Evaluasi yang terjadi pada setiap empat tahap diatas
itu dinamakan evaluasi formatif, karena tujuannya untuk kebutuhan revisi. Misal, pada tahap rancangan, mungkin kita memerlukan salah satu bentuk evaluasi formatif misalnya review ahli untuk memberikan input terhadap rancangan yang sedang kita buat. Pada tahap pengembangan, mungkin perlu uji coba dari produk yang kita kembangkan atau mungkin perlu evaluasi kelompok kecil dan lain-lain.


Model Hanafin and Peck

Model Hannafin dan Peck ialah model desain pengajaran yang terdiri daripada tiga fase yaitu fase Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi (Hannafin & Peck 1988). Dalam model ini, penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam setiap fase. Model ini adalah model desain pembelajaran berorientasi produk. Gambar di bawah ini menunjukkan tiga fase utama dalam model Hannafin dan Peck (1988).

Fase pertama dari model Hannafin dan Peck adalah analisis kebutuhan. Fase ini diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhankebutuhan dalam mengembangkan suatu media pembelajaran termasuklah di dalamnya tujuan dan objektif media pembelajaran yang dibuat, pengetahuan dan kemahiran yang diperlukan oleh kelompok sasaran, peralatan dan keperluan media pembelajaran.
Setelah semua keperluan diidentifikasi Hannafin dan Peck (1988) menekankan untuk menjalankan penilaian terhadap hasil itu sebelum meneruskan pembangunan ke fase desain. Fasa yang kedua dari model Hannafin dan Peck adalah fase desain. Di dalam fase ini informasi dari fase analisis dipindahkan ke dalam bentuk dokumen yang akan menjadi tujuan pembuatan media pembelajaran. Hannafin dan Peck (1988) menyatakan fase desain bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaedah yang paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media tersebut. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam fase ini ialah dokumen story board yang mengikut urutan aktivitas pengajaran berdasarkan keperluan pelajaran dan objektif media pembelajaran seperti yang diperoleh dalam fase analisis keperluan. Seperti halnya pada fase pertama, penilaian perlu dijalankan dalam fase ini sebelum dilanjutkan ke fase pengembangan dan implementasi.
Fase ketiga dari model Hannafin dan Peck adalah fase pengembangan dan implementasi. Hannafin dan Peck (1988) mengatakan aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah penghasilan diagram alur, pengujian, serta penilaian formatif dan penilaian sumatif. Dokumen story board akan dijadikan landasan bagi pembuatan diagram alir yang dapat membantu proses pembuatan media pembelajaran. Untuk menilai kelancaran media yang dihasilkan seperti kesinambungan link, penilaian dan pengujian dilaksanakan pada fase ini. Hasil dari proses penilaian dan pengujian ini akan digunakan dalam proses pengubahsuaian
untuk mencapai kualitas media yang dikehendaki. Model Hannafin dan Peck (1988) menekankan proses penilaian dan pengulangan harus mengikutsertakan proses-proses pengujian dan penilaian media pembelajaran yang melibatkan ketiga fase secara berkesinambungan. Lebih lanjut Hannafin dan Peck (1988) menyebutkan dua jenis penilaian yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif ialah penilaian yang dilakukan sepanjang proses pengembangan media sedangkan penilaian sumatif dilakukan setelah media telah selesai dikembangkan.


Model Four-D

Beberapa penelitian pengembangan mengacu pada model Four-D yang dikemukakan oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974), model Four-D termuat dalam buku sumber yang dipublikasi oleh gabungan (a joint publication) of the Leadership Training Institute/Special Education, University of Minnesota; The Center for Innovation in teaching the Handicapped (CITH), Indiana University; The Council for Exceptional Children (CEC), and The Teacher Education Division of CEC. Di Indiana University, buku tersebut sebagai buku sumber (sourcebook) di Center for Innovation in teaching the Handicapped. Diskripsi untuk buku tersebut sebagai berikut: Course objectives: *Exceptional Child Education; Handicapped Children; *Instructional Materials; Material Development; Performance Based Teacher Education; Task Analysis; *Teacher Developed Materials; *Teacher Educators.
Beberapa penelitian pengembangan perangkat pembelajaran, model pengembangannya memodifikasi model Four-D (define, design, develop, dissemination) dengan menghilangkan langkah diseminasi (dissemination) tanpa memberikan argumentasi ilmiah yang jelas dan logis menjadi model Three-D (define, design, develop). Ini bukan suatu modifikasi tetapi merupakan pengurangan terhadap salah satu langkah yang telah ditentukan. Karena itu, peneliti diharapkan berhati-hati dalam memodifikasi dan menentukan desain penelitian yang menunjukkan urutan langkah penelitian. Salah satu bagian penting dalam memodifikasi suatu model desain penelitian adalah memahami karakteristik model tersebut. Selanjutnya memberikan argumentasi ilmiah yang logis mengapa peneliti melakukan modifikasi model tersebut dalam penelitiannya. Pengembangan perangkat pembelajaran (instructional development) yang dikemukakan oleh Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974) pada dasarnya dimaksudkan untuk pelatihan guru (training teacher) untuk anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children), dan penekanannya pada pengembangan bahan ajar (material development). Anak-anak berkebutuhan khusus tersebut adalah anak-anak cacat (handicapped children). Sivasailam Thiagarajan, Dorothy S. Semmel dan Melvyn I. Semmel ketiganya ketika itu bekerja di pusat inovasi dalam pelatihan anak-anak cacat (Center for Innovation in Training the Handicapped) di Universitas Indiana (Indiana University), Bloomington, Indiana. Secara umum, tujuan dari penulisan buku sumber tersebut adalah untuk membantu pembaca dalam mendesain (design), mengembangkan (development), dan menyebarkan (dissemination) perangkat pembelajaran (instructional materials) untuk pelatihan guru-guru anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children). Meskipun dalam langkah-langkah penyusunan bahan ajar melibatkan pengembangan perangkat pembelajaran (developing instructional materials), tetapi jika ditinjau dari isi yang terkandung di abstrak, buku sumber (sourcebook) tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan bahan ajar bagi pendidik guru (teacher educator), atau pelatih guru menggunakan model Four-D (define, design, develop, and disseminate). Juga jika ditinjau dari kegiatan yang terkandung dalam langkah Four-D, terutama pada tahap dissemination, disinyalir fokus dari kegiatan adalah mengembangkan bahan ajar untuk pelatihan guru-guru (training teachers) bagi anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children).
Meskipun awalnya model Four-D dimaksudkan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran bagi guru untuk pelatihan guru-guru anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu bagi guru-guru yang mengajar anak-anak cacat, tetapi disinyalir dari kata pengantar (foreword) oleh Maynard C. Reynolds (ketika itu dia sebagai Director Leadership Training Institute/Special Education University of Minossa), bahwa model Four-D tersebut dapat dijadikan sumber ide dan prosedur pengembangan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dan penyebarannya (dissemination) pada bidang lainnya. Dengan demikian model Four-D secara umum dapat dipandang sebagai model untuk pengembangan instruksional (a model for instructional development). Pengembangan model ini didasarkan pada pengembangan instruksional oleh Twelker, Urbach, dan Buck (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974) dengan tahapan: analysis, design, dan evaluation. Awalnya Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) memodifikasi model ini menjadi empat tahap, yaitu: analysis, design, evaluation, dan dissemination. Selanjutnya model ini setelah melalui proses pengembangan dalam pelatihan, disebut model Four-D yang meliputi empat tahap: define, design, develop, dan disseminate. Tahap definisi (define) meliputi lima fase: (1) analisis awal-akhir (front-end analysis); (2) analisis pebelajar (learner analysis); (3) analisis tugas (task analysis); (4) analisis konsep (concept analysis); dan (5) tujuan-tujuan instruktional khusus (specifying instructional objectives). Tahap desain (design) meliputi empat fase: (1) mengkonstruksi tes beracuan-kriteria (constructing criterion-referenced test); (2) pemilihan media (media selection); (3) pemilihan format (format selection); dan (4) desain awal (initial design). Tahap pengembangan (develop) meliputi dua fase: (1) penilaian ahli (expert appraisal); dan (2) pengujian pengembangan (developmental testing). Tahap penyebaran (dissemination) meliputi tiga fase: (1) pengujian validitas (validating testing); (2) pengemasan (packaging); dan (3) difusi dan adopsi (diffusion and adoption). Skema hubungan antar tahap dan antar fase disajikan dalam buku sumber tersebut, dan tidak disajikan dalam artikel ini. Model Four-D, pada setiap tahap pengembangan memuat kegiatan yang menunjukkan adanya urutan langkah kegiatan dan khususnya pada tahap pengembangan (develop) memuat siklus kegiatan. Diskripsi hasil analisis terhadap pokok-pokok kegiatan pada setiap tahap dan fase model Four-D (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974) disajikan sebagai berikut.
No     Tahap Four-D     Fase     Kegiatan yang terkandung dalam setiap fase
1     Definisi (Define)
Tujuan dari kegiatan pada tahap ini adalah untuk menetapkan dan mendefinisikan
syarat-syarat pengajaran (instructional). Melalui analisis ditentukan tujuan dan kendala untuk materi pengajaran (instruction materials).
    Analisis awal-akhir (front-end analysis).     Mempelajari masalah mendasar yang dihadapi peserta pelatihan: untuk meningkatkan penampilan (performance) dari guru-guru pendidikan khusus. Sepanjang analisis ini, kemungkinan alternatif pembelajaran (instruction) yang lebih rapi dan efisien dipertimbangkan. Merekam (filing), dan mencari perangkat pembelajaran yang terkait. Jika alternatif pembelajaran dan materi
tersedia kemudian baru dapat disusun bahan pembelajaran.
        Analisis pebelajar (learner analysis).     Mempelajari pebelajar target, yaitu peserta pelatihan: guru-guru pendikan khusus. Mengidentifikasi relevansi karakteristik peserta dengan desain dan pengembangan instruksional. Karakteristik ini adalah masukan kompetensi (entering competencies) dan latar belakang pengalaman (background experiences). Sikap-sikap khusus menuju ke topik instruksional; dan pemilihan media, format, dan bahasa.
        Analisis tugas (task analysis).     Mengidentifikasi keterampilan utama yang diperoleh guru peserta pelatihan dan menganalisis dalam suatu kelompok sub keterampilan yang memadai dan diperlukan. Analisis ini untuk memastikan pemenuhan menyeluruh tugas terkandung dalam bahan pembelajaran (material instructional).
        Analisis konsep (concept analysis).     Mengidentifikasi konsep-konsep utama yang akan diajarkan, mengatur dalam urutan hirarkhi, dan memerinci konsep-konsep ke dalam atribut-atribut. Analisis ini membantu untuk memperoleh sekumpulan contoh dan bukan contoh.
        Tujuan instruktional khusus (specifying instructional objectives).     Mengubah hasil analisis tugas dan konsep dalam tujuan-tujuan secara behavior (behaviorally). Sekumpulan tujuan ini menjadi dasar untuk mengkonstruksi tes dan desain instruksional. Kemudian diintegrasikan dalam perangkat pembelajaran untuk digunakan oleh instruktur dan guru perserta pelatihan.
2     Desain (Design) Tujuan dari kegiatan pada tahap ini adalah mendesain prototype bahan ajar (instructional material). Kegiatan pada tahap ini dapat dilakukan setelah menentukan sekumpulan tujuan behavior (behavior objectives) untuk perangkat pembelajaran telah ditentukan. Pemilihan format dan media untuk bahan dan produksi versi awal mendasari aspek utama pada tahap desain.     Mengkonstruksi tes beracuan-kriteria (constructing criterion-referenced test).     Sebagai jembatan proses pendefinisian dan desain. Tes beracuan-kriteria mengubah tujuan-tujuan behavior dalam garis besar untuk perangkat pembelajaran.
        Pemilihan media (media selection).     Memilih media yang cocok untuk mempresentasikan isi pengajaran. Proses ini meliputi penyesuaian antara analisis tugas dan konsep, karakteristik target-peserta, sumber produksi, dan rencana penyebaran dengan berbagai macam atribut media yang berbeda. Pemilihan akhir mengidentifikasi medium yang paling sesuai atau kombinasi media untuk digunakan.
        Pemilihan format (format selection).     Mirip dengan pemilihan media. Dalam buku sumber (Thagarajan, 1974) diidentifikasi disertai 21 format yang berbeda yang dipandang cocok untuk mendesain perangkat pembelajaran (instructional material) untuk pelatihan guru. Pemilihan format yang paling sesuai bergantung pada berbagai faktor yang ditentukan dari hasil diskusi.
        Desain awal (initial design)     Mempresentasikan instruksional esensi melalui media yang sesuai dan dalam urutan yang cocok. Ini juga melibatkan penstrukturan berbagai kegiatan belajar seperti membaca teks, melakukan wawancara pada personil pendidikan khusus, dan mempraktikkan keterampilan mengajar oleh teman sejawat (peer teaching).
3     Pengembangan (Develop)
Tujuan kegiatan pada tahap ini adalah memodifikasi prototipe bahan ajar. Meskipun banyak
yang telah dihasilkan pada tahap pendefinisian, hasilnya dipandang sebagai versi awal bahan ajar yang harus dimodifikasi sebelum menjadi versi akhir yang efektif. Umpan balik diperoleh melalui evaluasi formatif dan digunakan untuk merevisi bahan ajar.
    Penilaian ahli (expert appraisal).     Teknik untuk memperoleh saran untuk meningkatkan bahan (material) ajar atau bahan instruksional. Sejumlah pakar diminta mengevaluasi bahan instruksional dan dari segi teknik. Berbasis pada umpan-balik (feedback), bahan dimodifikasi supaya menjadi lebih memadai, efektif, dapat digunakan, dan secara teknik berkualitas tinggi.
        Uji pengembangan
(developmental testing).
    Melibatkan ujicoba bahan ajar pada peserta pelatihan untuk memperolah bagian-bagian yang direvisi. Berdasar pada respon,
reaksi, dan komentar dari peserta pelatihan, bahan dimodifikasi. Siklus dari uji, revisi, dan uji lagi dilakukan berulang-ulang sehingga bahan dapat digunakan bersifat konsisten dan efektif.

4     Penyebaran (Disseminate) Bahan ajar sampai pada tahap produksi akhir jika uji pengembangan menunjukkan hasil yang konsisten dan hasil penilaian ahli merekomendasikan komentar positif.     Pengujian validitas (validating testing) .     Sebelum bahan (material) ajar disebarluaskan (disseminasi), evaluasi sumatif dilakukan. Pada fase tes validasi, bahan digunakan untuk menunjukkan: siapa yang belajar, di bawah apa, kondisi apa, dan bagaimana dengan waktunya. Bahan juga diuji melalui uji profesional dengan tujuan memperoleh masukan pada kecukupan dan relevansinya.
        Pengemasan (packaging).
    Pengemasan final, difusi, dan adopsi merupakan bagian penting meskipun bagian ini sering terlewatkan. Produser dan distributor harus dipilih dan dikerjakan secara kooperatif untuk mengemas bahan dalam bentuk yang diterima pengguna. Upaya khusus diperlukan untuk mendistribusikan bahan secara luas pada pelatih dan peserta pelatihan, dan mendorong adopsi dan utilisasi bahan.

        Difusi dan adopsi (diffusion and adoption).
   
Bagaimana jika model Four-D digunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran, yang akan digunakan untuk melaksanakan pembelajaran bagi anak-anak biasa (normal children)? Sebagaimana telah dikemukakan oleh Reynolds (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974), peneliti dapat menggunakan alur berpikir dan langkah-langkah model Four-D untuk bidang lainnya. Namun demikian, bagi peneliti yang penelitiannya berkaitan dengan pengembangan perangkat pembelajaran bagi anak-anak biasa perlu melakukan modifikasi pada kegiatan yang terkandung dalam setiap fase pengembangan model Four-D. Modifikasi semestinya dilakukan pada kegiatan yang terkandung dalam setiap langkah dan fase Four-D, bukan sekadar mengubah dari empat tahap menjadi tiga tahap.
Argumentasi pentingnya memodifikasi kegiatan perlu dipaparkan berdasar analisis dan penalaran logis dalam suatu desain penelitian, misalnya dalam bentuk skematik dan mencirikan proses dan kekhasan kegiatan dalam langkah-langkah penelitian yang dilakukan peneliti. Di samping itu, bagian terpenting dari penelitian pengembangan (development research) adalah perlu melakukan uji kualitas. Berkaitan dengan uji kualitas ini, Nieveen (1999) berpendapat sebagai berikut. Uji kualitas pengembangan perangkat pembelajaran meliputi uji kevalidan (validity), kepraktisan (practically), dan keefektifan (effectiveness) perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Di samping itu, hasil penelitian dapat diterapkan pada wilayah yang lebih luas.


Model Plomp

Rechey dan Nelson; Greeno, Collins dan Resnick adalah beberapa ahli pendidikan yang pernah melakukan penelitian pengembangan (development research) dalam bidang pembelajaran (Van den Akker, 1999). Teori-teori penelitian pengembangan banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan misalnya oleh van den Akker, Nieveen, Berg, Moonen, dan Plomp dari Universitas Twente Belanda; Gustafson, Reevers dari Universitas Georgia. Desain pengembangannya bervariasi, yang satu mungkin berbeda dengan lainnya dipengaruhi oleh karakteristik penelitian dan pendekatan yang dipakai. Pendekatan penelitian, misalnya eksperimen, survey, dan analisis korelasional oleh Van den Akker (1999: 2) digolongkan dalam pendekatan penelitian tradisional yang memfokuskan pada pengetahuan diskriptif dan kurang menekankan pada kepraktisan. Berbeda dengan penelitian tradisional, penelitian pengembangan menekankan pada keduanya kontribusi praktis (practical constribution) dan kontribusi ilmu pengetahuan (scientific constribution). Menurut Visscher-Voerman, Gustafson, dan Plomp (1999: 17) paradigma penelitian pengembangan terdiri dari empat paradigma: (1) paradigma instrumental (instrumental paradigm); (2) paradigma komunikatif (communicative paradigm); (3) paradigma pragmatis (pragmatic paradigm); dan (4) paradigma artistik (artistic paradigm).
Paradigma instrumental dikarakteristikkan dengan planning-by-objective, yakni rencana yang didasarkan pada tujuan. Analisis kebutuhan dan masalah dilakukan di awal proses pengembangan. Rumusan tujuan merupakan pusat dari model. Setelah merumuskan tujuan menentukan alat-alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Paradigma komunikatif ditentukan oleh keterlibatan orang-orang dalam penelitian. Mereka memiliki pendapat dan persepsi yang berbeda-beda tentang produk yang akan dihasilkan dalam penelitian pengembangan. Dengan adanya keterlibatan sosial dalam penelitian, menjadikan pencapaian dan kesimpulan penelitian diperoleh melalui konsensus dari berbagai pihak. Dengan demikian proses pengembangan dipengaruhi oleh aktivitas kegiatan sosial antar subjek (inter-subject). Paradigma pragmatis ditentukan oleh lingkungan sebagai tempat untuk implementasi produk dan penggunaannya. Implementasi produk dan penggunaannya merupakan bagian utama dari proses, misalnya dalam penelitian pengembangan dengan pendekatan prototipe. Penelitian dipandang berhasil jika prototipe yang dihasilkan dapat digunakan dan bermanfaat pada suatu lingkungan. Paradigma artistik berkaitan dengan realitas sosial. Eisner melukiskan realitas sosial sebagai berikut: ”social reality as negotiated, subjective, constructed, and having multiple perspective” (Visscher-Voerman, Gustafson, dan Plomp, 1999: 1). Dalam realitas sosial antara lain terjadi negosiasi, subyektif, konstruktif, dan memiliki berbagai perspektif. Van den Akker (1999) menyatakan di bawah payung penelitian pengembangan (development research) peneliti terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian. Dari segi yang lebih abstrak, peneliti dihadapkan pada ketidaktentuan dalam pengambilan keputusan untuk menyusun ‟intervensi‟ desain dan pengembangan. Istilah intervensi mencakup produk, program, materi, prosedur, skenario, pendekatan, dan lainnya. Semuanya ini dapat diklasifikasi dalam dua kategori: (1) penyediaan ide untuk mengoptimalkan kualitas intervensi yang dikembangkan; dan (2) memperumum, mengartikulasikan, dan menguji prinsip-prinsip desain. Prinsip-prinsip desain ini mengacu pada karakteristik intervensi dan prosedur pengembangannya. Untuk keperluan mengoptimalkan intervensi dalam penelitian pengembangan diperlukan desain penelitian yang luwes dan fleksibel.

Selengkapnya:
http://www.mediafire.com/?8fib5tbinug0qot

Model Pengembangan Murni


1.    Model Air Terjun - Waterfall Model - Linear Sequential Model (Tahun 1970)
Model ini adalah model klasik yang bersifat sistematis, berurutan dalam membangun software. Berikut ini ada dua gambaran dari waterfall model. Sekalipun keduanya menggunakan nama-nama fase yang berbeda, namun sama dalam intinya.
Fase-fase dalam Waterfall Model menurut referensi Pressman:

Fase-fase dalam Waterfall Model menurut referensi Sommerville :

(1)    Requirements analysis and definition: Mengumpulkan kebutuhan secara lengkap kemudian kemudian dianalisis dan didefinisikan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh program yang akan dibangun. Fase ini harus dikerjakan secara lengkap untuk bisa menghasilkan desain yang lengkap.
(2)    System and software design: Desain dikerjakan setelah kebutuhan selesai dikumpulkan secara lengkap.
(3)    Implementation and unit testing: desain program diterjemahkan ke dalam kode-kode dengan menggunakan bahasa pemrograman yang sudah ditentukan. Program yang dibangun langsung diuji baik secara unit.
(4)    Integration and system testing: Penyatuan unit-unit program kemudian diuji secara keseluruhan (system testing).
(5)    Operation and maintenance: mengoperasikan program dilingkungannya dan melakukan pemeliharaan, seperti penyesuaian atau perubahan karena adaptasi dengan situasi sebenarnya.
Kekurangan yang utama dari model ini adalah kesulitan dalam mengakomodasi perubahan setelah proses dijalani. Fase sebelumnya harus lengkap dan selesai sebelum mengerjakan fase berikutnya.
Masalah dengan waterfall:
(1)    Perubahan sulit dilakukan karena sifatnya yang kaku.
(2)    Karena sifat kakunya, model ini cocok ketika kebutuhan dikumpulkan secara lengkap sehingga perubahan bisa ditekan sekecil mungkin. Tapi pada kenyataannya jarang sekali konsumen/pengguna yang bisa memberikan kebutuhan secara lengkap, perubahan kebutuhan adalah sesuatu yang wajar terjadi.
(3)    Waterfall pada umumnya digunakan untuk rekayasa sistem yang besar dimana proyek dikerjakan di beberapa tempat berbeda, dan dibagi menjadi beberapa bagian sub-proyek.
2.    Evolutionary Software Process Models
Bersifat iteratif/ mengandung perulangan. Hasil proses  berupa  produk yang makin lama makin lengkap sampai versi terlengkap dihasilkan sebagai produk akhir dari proses.
Dua model dalam evolutionary software process model adalah:
(1)    Incremental Model (Original: Mills)

1)    kombinasikan element-element dari waterfall dengan sifat iterasi/perulangan.
2)    element-element dalam waterfall dikerjakan dengan hasil berupa produk dengan spesifikasi tertentu, kemudian proses dimulai dari fase pertama hingga akhir dan menghasilkan produk dengan spesifikasi yang lebih lengkap dari yang sebelumnya. Demikian seterusnya hingga semua spesifikasi memenuhi kebutuhan yang ditetapkan oleh pengguna.
3)    produk hasil increment pertama biasanya produk inti (core product), yaitu produk yang memenuhi kebutuhan dasar. Produk tersebut digunakan oleh pengguna atau menjalani review/pengecekan detil. Hasil review tersebut menjadi bekal untuk pembangunan pada increment berikutnya. Hal ini terus dikerjakan sampai produk yang komplit dihasilkan.
4)    model ini cocok jika jumlah anggota tim pengembang/pembangun PL tidak cukup.
5)    Mampu mengakomodasi perubahan secara fleksibel.
6)    Produk yang dihasilkan pada increment pertama bukanlah prototype, tapi produk yang sudah bisa berfungsi dengan spesifikasi dasar.
Masalah dengan Incremental model:
1)    cocok untuk proyek berukuran kecil (tidak lebih dari 200.000 baris coding)
2)    mungkin terjadi kesulitan untuk memetakan kebutuhan pengguna ke dalam rencana spesifikasi masing-masing hasil increment

(2)    Spiral Model (Original: Boehm)

Proses digambarkan sebagai spiral. Setiap loop mewakili satu fase dari  software process. Loop  paling dalam berfokus pada kelayakan dari sistem, loop selanjutnya tentang definisi dari kebutuhan, loop berikutnya berkaitan dengan desain sistem dan seterusnya. Setiap Loop  dibagi menjadi beberapa sektor :
1)    Objective settings (menentukan tujuan): menentukan tujuan dari fase yang ditentukan. Batasan-batasan pada proses dan produk sudah diketahui. Perencanaan sudah disiapkan. Resiko dari proyek sudah diketahui. Alternatif strategi sudah disiapkan berdasarkan resiko-resiko yang diketahui, dan sudah direncanakan.
2)    Risk assessment and reduction (Penanganan dan pengurangan resiko): setiap resiko dianalisis secara detil pada sektor ini. Langkah- langkah penanganan dilakukan, misalnya membuat prototype untuk mengetahui ketidakcocokan kebutuhan.
3)    Development and Validation (Pembangunan dan pengujian): Setelah evaluasi resiko, maka model pengembangan sistem dipilih. Misalnya jika resiko user interface dominan, maka membuat prototype User Interface. Jika bagian keamanan yang bermasalah, maka menggunakan model formal dengan perhitungan matematis, dan jika masalahnya adalah integrasi sistem model waterfall lebih cocok.
4)    Planning: Proyek dievaluasi atau ditinjau-ulang dan diputuskan untuk terus ke fase loop selanjutnya atau tidak. Jika melanjutkan ke fase berikutnya rencana untuk loop selanjutnya.
Pembagian sektor tidak bisa saja dikembangkan seperti pada pembagian sektor berikut pada model variasi spiral di bawah ini:

1)    Customer communication: membangun komunikasi yang baik dengan pengguna/customer.
2)    Planning: mendefinisikan sesumber, batas waktu, informasi-informasi lain seputar proyek
3)    Risk analysis: identifikasi resiko managemen dan teknis
4)    Engineering: pembangunan contoh-contoh aplikasi, misalnya prototype
5)    Construction and release : pembangunan, test, install dan support.
6)    Customer evaluation: mendapatkan feedback dari pengguna beradasarkan evaluasi PL pada fase engineering dan fase instalasi.
Pada model spiral, resiko sangat dipertimbangkan. Resiko adalah sesuatu yang mungkin mengakibatkan kesalahan. Model spiral merupakan pendekatan yang realistik untuk PL berskala besar. Pengguna dan pembangun bisa memahami dengan baik software yang dibangun karena setiap kemajuan yang dicapai selama proses dapat diamati dengan baik. Namun demikian, waktu yang cukup panjang mungkin bukan pilihan bagi pengguna, karena waktu yang lama sama dengan biaya yang lebih besar.


3.    RAD (Rapid Application Development)
RAD adalah model proses pembangunan PL yang incremental. RAD menekankan pada siklus pembangunan yang pendek/singkat. RAD mengadopsi   model waterfall dan pembangunan dalam waktu singkat dicapai dengan menerapkan component based construction. Waktu yang singkat adalah batasan yang penting untuk model ini.
Jika kebutuhan lengkap dan jelas maka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan secara komplit software yang dibuat adalah misalnya 60  sampai 90  hari.
Kelemahan dalam model ini:
1)    tidak cocok untuk proyek skala besar
2)    proyek bisa gagal karena waktu yang disepakati tidak dipenuhi
3)    sistem yang tidak bisa dimodularisasi tidak cocok untuk model ini
4)    resiko teknis yang tinggi juga kurang cocok untuk model ini

Fase-fase di atas menggambarkan proses dalam model RAD. Sistem dibagi-bagi menjadi beberapa modul dan dikerjakan dalam waktu yang hampir bersamaan dalam batasan waktu yang sudah ditentukan.
1)    Business modelling : menjawab pertanyaan-pertanyaan: informasi apa yang mengendalikan proses bisnis? Informasi apa yang dihasilkan? Siapa yang menghasilkan informasi? Kemana informasi itu diberikan? Siapa yang mengolah informasi?   kebutuhan dari sistem
2)    Data modelling: aliran informasi yang sudah didefinisikan, disusun menjadi sekumpulan objek data. Ditentukan karakteristik/atribut dan hubungan antar objek-objek tersebut  analisis kebutuhan dan data
3)    Process Modelling : objek data yang sudah didefinisikan diubah menjadi aliran informasi yang diperlukan untukmenjalankan fungsi-fungsi bisnis.
4)    Application Generation: RAD menggunakan component program yang sudah ada atau membuat component yang bisa digunakan lagi, selama diperlukan.
5)    Testing and Turnover: karena menggunakan component yang sudah ada, maka kebanyakan component sudah melalui uji  atau testing. Namun component baru dan interface harus tetap diuji.

4.    Prototyping Model
Kadang-kadang klien hanya memberikan beberapa kebutuhan umum software tanpa detil input, proses atau detil output. Di lain waktu mungkin dimana tim pembangun (developer) tidak yakin terhadap efisiensi dari algoritma yang digunakan, tingkat adaptasi terhadap sistem operasi atau rancangan form user interface. Ketika situasi seperti ini terjadi model prototyping sangat membantu proses pembangunan software.
Proses pada model prototyping yang digambarkan pada gambar 1, bisa dijelaskan sebagai berikut:
•    pengumpulan kebutuhan: developer dan klien bertemu dan menentukan tujuan umum, kebutuhan yang diketahui dan gambaran bagian-bagian yang akan dibutuhkan berikutnya. Detil kebutuhan mungkin tidak dibicarakan disini, pada awal pengumpulan kebutuhan
•    perancangan : perancangan dilakukan cepat dan rancangan mewakili semua aspek software yang diketahui, dan rancangan ini menjadi dasar pembuatan prototype.
•    Evaluasi prototype: klien mengevaluasi prototype yang dibuat dan digunakan untuk memperjelas kebutuhan software.
Perulangan ketiga proses ini terus berlangsung hingga semua kebutuhan terpenuhi. Prototype-prototype dibuat untuk memuaskan kebutuhan klien dan untuk memahami kebutuhan klien lebih baik.
Prototype yang dibuat dapat dimanfaatkan kembali untuk membangun software lebih cepat, namun tidak semua prototype bisa dimanfaatkan.
Sekalipun prototype memudahkan komunikasi antar developer dan klien, membuat klien mendapat gambaran awal dari prototype , membantu mendapatkan kebutuhan detil lebih baik namun demikian prototype juga menimbulkan masalah:
1)    dalam membuat prototype banyak hal yang diabaikan seperti efisiensi, kualitas, kemudahan dipelihara/dikembangkan, dan kecocokan dengan lingkungan yang sebenarnya. Jika klien merasa cocok dengan prototype yang disajikan dan berkeras terhadap produk tersebut, maka developer harus kerja keras untuk mewujudkan produk tersebut menjadi lebih baik, sesuai kualitas yang seharusnya.
2)    developer biasanya melakukan kompromi dalam beberapa hal karena harus membuat prototype dalam waktu singkat. Mungkin sistem operasi yang tidak sesuai, bahasa pemrograman yang berbeda, atau algoritma yang lebih sederhana.
Agar model ini bisa berjalan dengan baik, perlu disepakati bersama oleh klien dan developer bahwa prototype yang dibangun merupakan alat untuk mendefinisikan kebutuhan software.

5.    Component-Based Development Model
Component-based development sangat berkaitan dengan teknologi berorientasi objek. Pada pemrograman berorientasi objek, banyak class yang dibangun dan menjadi komponen dalam suatu software. Class-class tersebut bersifat reusable artinya bisa digunakan kembali. Model ini bersifat iteratif atau berulang-ulang prosesnya.
Secara umum proses yang terjadi dalam model ini adalah:

1)    identifikasi class-class yang akan digunakan kembali dengan menguji class tersebut dengan data yang akan dimanipulasi dengan aplikasi/software dan algoritma yang baru
2)    Class yang dibuat pada proyek sebelumnya disimpan dalam class library, sehingga bisa langsung diambil dari library yang sudah  ada.  Jika ternyata ada kebutuhan class baru, maka class baru dibuat dengan metode berorientasi objek.
3)    bangun software dengan class-class yang sudah ditentukan atau class baru yang dibuat, integrasikan.
Penggunaan kembali komponen software yang sudah ada menguntungkan dari segi:
1)    siklus waktu pengembangan software, karena mampu mengurangi waktu 70%
2)    biaya produksi berkurang sampai 84% arena pembangunan komponen berkurang
Pembangunan software dengan menggunakan komponen yang sudah tersedia dapat menggunakan komponen COTS  (Commercial off-the-shelf) – yang bisa didapatkan dengan membeli atau komponen yang sudah dibangun sebelumnya secara internal.
Component-Based Software Engineering   (CBSE) adalah proses yang menekankan perancangan dan pembangunan software dengan menggunakan komponen software yang sudah ada.  CBSE  terdiri dari dua bagian yang terjadi secara paralel yaitu software engineering (component-based development) dan domain engineering seperti yang digambarkan pada Gambar 2:
1)    domain engineering menciptakan model domain bagi aplikasi yang akan digunakan untuk menganalisis kebutuhan pengguna. Identifikasi, pembangunan, pengelompokan dan pengalokasikan komponen-komponen software supaya bisa digunakan pada sistem yang ada dan yang akan datang.
2)    software engineering (component-based development) melakukan analisis terhadap domain model yang sudah ditetapkan kemudian menentukan spesifikasi dan merancang berdasarkan model struktur dan spesifikasi sistem, kemudian melakukan pembangunan software dengan menggunakan komponen-komponen yang sudah ditetapkan berdasarkan analisis dan rancangan yang dihasilkan sebelumnya hingga akhirnya menghasilkan software.


6.    Extreme Programming (XP) Model
Model proses ini diciptakan dan dikembangkan oleh Kent Beck. Model ini adalah model proses yang terbaru dalam dunia rekayasa perangkat lunak dan mencoba menjawab kesulitan dalam pengembangan software yang rumit dan sulit dalam implementasi.
Menurut Kent Beck XP adalah : “A lightweight, efficient, low-risk, flexible,predictable, scientific and fun  way to develop software”. Suatu model yang menekankan pada:
•    keterlibatan user secara langsung
•    pengujian
•    pay-as-you-go design
Adapun empat  nilai penting dari XP
1)    Communication/Komunikasi : komunikasi antara developer dan klien sering menjadi masalah. Karena itu komunikasi dalam XP dibangun dengan melakukan pemrograman berpasangan (pair programming). Developer didampingi oleh pihak klien dalam melakukan coding   dan unit testing sehingga klien bisa terlibat langsung dalam pemrograman sambil berkomunikasi dengan developer. Selain itu perkiraan beban tugas juga diperhitungkan.
2)    Simplicity/ sederhana: Menekankan pada kesederhanaan dalam pengkodean: “What is the simplest thing that could possibly work?” Lebih baik melakukan hal yang sederhana dan mengembangkannya besok jika diperlukan. Komunikasi yang lebih banyak mempermudah, dan rancangan yang sederhana mengurangi penjelasan.
3)    Feedback / Masukan/Tanggapan: Setiap feedback ditanggapi dengan melakukan tes, unit test atau system integration dan jangan menunda karena biaya akan membengkak (uang, tenaga, waktu).
4)    Courage / Berani: Banyak ide baru dan berani mencobanya, berani mengerjakan kembali dan setiap kali kesalahan ditemukan, langsung diperbaiki.

Selengkapnya:
http://www.mediafire.com/?4mal59ggj5g1iof

Model-Model Pembelajaran


Model pembelajaran adalah suatu disain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa (Didang : 2005).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 203), pengertian strategi  (1) ilmu dan seni menggunakan sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam dan perang damai, (2) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. 
Soedjadi (1999 :101) menyebutkan strategi pembelajaran adalah suatu siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah keadaan pembelajaran menjadi pembelajaran yang diharapkan. Untuk dapat mengubah keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran.
Istilah model pembelajaran berbeda dengan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran. Model pembelajaran meliputi suatu model pembelajaran yang luas dan menyuluruh. Konsep model pembelajaran lahir dan berkembang dari pakar psikologi dengan pendekatan dalam setting eksperimen yang dilakukan. Konsep model pembelajaran untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Bruce dan koleganya (Joyce, Weil dan Showers, 1992).
Lebih lanjut  Ismail (2003) menyatakan  istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu : 
1.    Rasional teoritik yang logis disusun oleh perancangnya,
2.    Tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
3.    Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil dan
4.    Lingkungan belajar  yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Berbedanya  pengertian antara model, strategi, pendekatan dan metode serta teknik  diharapkan guru mata pelajaran umumnya dan khususnya matematika mampu memilih model dan mempunyai strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi dan standar kompetensi serta kompetensi dasar dalam standar isi.

Model – Model  Pembelajaran
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip.
1.    Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
2.    Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).
3.    Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reorganisasi matematika melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan matematika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruktivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), intertainment (keterkaitan-interkoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).
4.    Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
5.    Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri.
6.    Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, .atau algoritma). Sintaknya adalah sajikan permasalah yang memenuhi kriteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau aturan yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.
7.    Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adalah problem posing, yaitu pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.
8.    Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan permasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitkan dengan materi selanjutnya, siapkan rencana bimbingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat respon siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.
9.    Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mengurangi kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi.
10.    Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.
11.    Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.
Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.

12.    SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.
13.    TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a)    Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b)    Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.
c)    Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
d)    Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e)    Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.
14.    VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.
15.    AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.
16.    TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.

17.    STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.
18.    NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.
19.    Jigsaw
Model p[embeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti berikut ini. Pengarahan, iformasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok asal, pelaksna tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
20.    TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
21.    GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
22.    MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi
23.    CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.
24.    TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.
25.    TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.
26.    CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

27.    SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh
28.    SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.
29.    MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembnelajaran yang mengutyamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep
30.    KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.
31.    CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.
32.    DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.
33.    DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.
34.    CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.
35.    IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya

36.    Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukaran pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.
37.    Artikulasi
Artikulasi adlah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.
38.    Debate
Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.
39.    Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.
40.    Talking Stick
Suintak pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.
41.    Snowball Throwing
Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyuimpulan, refleksi dan evaluasi
42.    Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.
43.    Course Review Horay
Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
44.    Demonstration
Pembelajaran ini khusu untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
45.    Explicit Instruction
Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan procedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
46.    Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.
47.    Pair Checks
Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
48.    Make-A Match
Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk badak berikutnya pembelaarn seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
49.    Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatiu jawababn, presentasi hasuil diskusi kelompok, siswa membuat ksimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.
50.    Examples Non Examples
Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, valuasi dan refleksi.
51.    Picture and Picture
Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.
52.    Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

53.    LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bertisfat tuntunan dalam rangaka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.
54.    Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latian dan bertanya, balikan-perbnaikan-pengayaan-interaksi.
55.    Generatif
Basi gneratif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restruturisasi sajiankonsep, aplikasi, ranguman, evaluasi, dan refleksi
56.    Circuit Learning
Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan focus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi
57.    Complette Sentence
Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintakas: sisapkan blanko isian berupa aparagraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.
58.    Concept Sentence
Proseduirnya adalah poenyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tia kelompok membeuat kalimat berdasarkankata kunci, presentasi.
59.    Time Token
Model ini digunakan (Arebds, 1998) untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.
60.    Take and Give
Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa – bahan belajar – dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi
61.    Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa opemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan sal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.
62.    Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.
63.    Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.
64.    Kumon
Pembelajarn dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.
65.    Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.

Model Penelitian Tindakan Kelas


Terdapat beberapa model PTK yang dikembangkan oleh para pakar, di mana antara satu model dengan model yang lainnya memiliki persamaan dan perbedaan. Model-model PTK yang dikembangkan oleh para pakar tersebut sesungguhnya adalah diadaptasi dari model-model penelitian tindakan. Seperti kita telah ketahui bahwa penelitian tindakan pada awalnya diorientasikan pada pemecahan masalah sosial di masyarakat. Kemudian, berkembang dan dikembangkan pada bidang pendidikan (pendidikan tindakan pendidikan), pada akhirnya lahir penelitian tindakan yang dilaksanakan di dalam kelas dengan menggunakan prinsip-prinsip penelitian tindakan (PTK).
Setiap model PTK yang dikembangkan oleh para pakar tidak bersifat kaku, melainkan dapat dimodifikasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang tepat, misalnya pertimbangan permasalahan, kebutuhan kondisi atau situasi tempat (sekolah/kelas). Selanjutnya, dalam pembahasan ini akan dikemukakan enam model PTK, yakni: Model Ebbut, Model Kemmis dan Mc Taggart, Model Elliot, Model Mc Kernan, Model Hopkins, dan Model Raka Joni.

1.    Design Penelitian Tindakan Model Kurt Lewin
Model Kurt Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari adanya berbagai model penelitian tindakan yang lain, khususnya PTK. Dikatakan demikian, karena dialah yang pertama kali memperkenalkan Action Research atau penelitian tindakan.
Konsep pokok penelitian tindakan Model Kurt Lewin terdiri dari empat komponen, yaitu:
a.    perencanaan (planning)
b.    tindakan (acting)
c.    pengamatan (observing)
d.    refleksi (reflecting).
Hubungan keempat komponen tersebut dipandang sebagai siklus yang dapat digambarkan sebagai berikut :

2.    Model Ebbut
Asumsi dasar yang dikemukakan pertama kalinya oleh Lewin adalah bahwa cara yang terbaik untuk memajukan orang adalah dengan melibatkan mereka dalam penelitian mereka sendiri dan yang ada di dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, penelitian tindakan mengedepankan adanya kolaborasi dan partisipasi yang bersifat demokratis, antara peneliti dengan sasaran penelitian. Ebbut melakukan penelaahan terhadap praktik penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Lewis tersebut. Kegiatan penelaahan terfokus pada pelaksanaan kolaborasi antar tim peneliti. Beliau mengemukakan bahwa dalam praktik kolaborasi menimbulkan suatu dilema antara peneliti dengan sasaran penelitian. Demikian juga dalam PTK, Ebbut lebih memusatkan kegiatan pada adanya kesenjangan antara mengajar untuk pemahaman dan mengajar untuk kebutuhan. Dalam analisisnya, Ebbut menelaah adanya dilema yang timbul dalam kolaborasi antara peneliti yang berasal dari luar kelas dengan agenda penelitiannya dan guru-guru yang lain menyelidiki dan memperoleh gambaran atau pantulan dari apa yang telah mereka praktikan sendiri. Dalam PTK, Ebbut mengedepankan dua hal, yakni:
(1)    sangat memperhatikan alur logika penelitian tindakan
(2)    menjabarkan teori sistem yang terdiri atas subsistem-subsistem atau konseptual ke ke dalam bentuk kegiatan operasional.
Selanjutnya, Ebbut menawarkan diagram PTK yang divisualisasikan pada gambar berikut

3.    Model Kemmis dan Mc Taggart
Pada awalnya, yakni tahun 1986, Kemmis bersama Wilf Carr lebih memfokuskan pada penelitian tindakan pendidikan. Kemudian bersama Taggart mengembangkan model PTK berdasarkan pada konsep asli dari Kurt Lewin. Model PTK yang dikembangkan Kemmis dan Taggart disesuaikan berdasarkan pada beberapa pertimbangan. Kemmis dan Taggart menggunakan sistem spiral refleksi diri yang dimulai dengan langkah:
(1)    rencana
(2)    tindakan
(3)    pengamatan
(4)    refleksi, kemudian perencanaan kembali.
Sistem spiral yang terdiri atas empat tahapan tersebut merupakan dasar untuk suatu ancang-ancang pemecahan permasalahan pembelajaran di kelas. Model PTK yang dikembangkan Kemmis dan Taggart tersebut mendapat komentar dari Ebbut. Ebbut mengemukakan pendapatnya bahwa model Kemmis dan Taggart menyamakan penelitian dengan temuan fakta di lapangan. Sedangkan pada kenyataannya, diagram yang digambarkan dalam model Kemmis dan Taggart tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa penelitian tindakan kelas terdiri atas empat kegiatan. Keempat kegiatan tersebut adalah diskusi, negosiasi, menyelidiki, dan menelaah kendala-kendala yang ada. Dengan demikian, Ebbut secara tegas mengemukakan bahwa Model Kemmis sudah jelas ada elemen-elemen analisisnya, tidak hanya menemukan fakta di lapangan. Selanjutnya, Ebbut mengemukakan kelemahan model Kemmis dan Taggart bahwa langkah-langkah yang dikembangkan dalam model tersebut bukanlah yang terbaik untuk mendeskripsikan adanya proses tindakan dan refleksi, sebagai penelitian tindakan kelas. Model Kemmis dan Taggart merupakan suatu sistem spirak refleksi diri yang terdiri atas empat tahapan. Keempat langkah tersebut yakni: rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Model tersebut kemudian divisualisasikan pada gambar berikut. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa setiap tahapan pada sistem spiral refleksi diri, dinyatakan dengan urutan angka mulai dari nomor 1–8. Berikut ini disajikan keterangan untuk setiap tahapan disertai ilustrasinya dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Kemmis dan Taggart.

Keterangan:
1)    a. Siswa mengira bahwa sains hanya sekedar mengingat fakta dan bukan proses inkuiri. Bagaimana saya dapat merangsang inkuiri pada siswa? Apakah dengan mengubah teknik bertanya? Apakah dengan teknik bertanya yang sama?
b. Menukar strategi bertanya agar siswa dapat menggali jawaban atas pertanyaan sendiri.
2)    Mencoba bertanya agar siswa mau mengatakan keinginan mereka.
3)    Mencatat pertanyaan dan respons pada tape untuk beberapa kali pelajaran untuk melihat apa yang terjadi. Catatan tentang kesan disimpan dalam buku harian.
4)    Pertanyaan inkuiri dikacaukan oleh kebutuhan tetapi garapan kelas tetap dikendalikan.
5)    Teruskan tujuan umum, tetapi kurangi pengendalian (disesuaikan).
6)    Kendorkan pengendalian dalam beberapa kali pelajaran.
7)    Pertanyaan direkam dan dikendalikan. Catat dalam buku harian tentang pengaruhnya terhadap tingkah laku siswa.
8)    Inkuiri berkembang, tetapi siswa lebih galak.
Bagaimana dapat menjaga agar tetap pada jalur?
Dengan cara saling mendengarkan?
Dengan pertanyaan-pertanyaan lagi?
Pelajaran apa yang dibantu?
Dst.....................................
Observasi     :Kegiatan berpasangan dan mendengarkan pembicaraan diikuti dan dicatat.
Refleksi     :Kegiatan percakapan cukup hidup dan muncul beberapa persoalan dari buku, kemudian akan melihat kembali atau memilih bahan dari buku teks.
Rencana     :Perlu dikembangkan suatu teknik wawancara di mana siswa A bertanya kepada siswa B dan jawaban dapat ditemukan
    berdasarkan materi yang ada.
    Apakah kegiatan ini akan membosankan siswa?
    Bagaimana hal ini dapat dihindari?
    Mungkin dapat lebih melibatkan mereka agar mereka menjadi lebih aktif.
Tindakan     :Siswa merekam percakapan. Karena jumlah tape recorder tidak mencukupi, mereka bergiliran untuk menyimak dan berbicara. Pada akhir kegiatan wawancara, mereka mendengarkan dan memberi komentar mengenai rekaman masing-masing.
Observasi     :Siswa kelihatannya senang sekali dan kelihatannya berhasil mengumpulkan informasi sedikit demi sedikit dari buku teks ketika mereka membuat pertanyaan dan jawaban untuk temannya.
Refleksi     :Secara padagogis apakah sudah benar mengajar bahan melalui proses seperti ini? Untuk itu, berkonsultasi dengan kepala sekolah tentang hal ini. Kemmis menyarankan agar guru menggunakan teman sejawat yang kritis sebagai suporter. Teman sejawat dapat menjadi pengkritik yang ramah.
4.    Model Elliot
Elliot adalah seorang pendukung gerakan di mana guru sebagai peneliti. Beliau selalu berusaha mencari cara-cara baru untuk mengembangkan jaringan penelitian tindakan. Salah satu caranya adalah menjalin hubungan dengan pusat-pusat jaringan penelitian. Pada tahun 1976 didirikan suatu jaringan penelitian tindakan kelas yang dinamakan ”Classroom Action Research Network” yang berpusat di Institut Cambridge.
Elliot bersama Adelman mengadakan jalinan kerjasama dengan guru-guru kelas. Elliot dan Adelman berperan tidak hanya sekedar menjadi pengamat, melainkan berperan sebagai kolaborator atau teman sejawat bagi para guru tersebut. Melalui partisipasi semacam ini, mereka membantu guru-guru kelas dalam mengadopsi suatu pendekatan penelitian bagi pekerjaannya. Pada tahun 1980-an, guru-guru yang tergabung di Proyek John
Elliot memusatkan kegiatan pada adanya kesenjangan antara mengajar untuk pemahaman dengan mengajar untuk kebutuhan. Elliot setuju dengan model PTK yang dikembangkan Kemmis dan Taggart terutama tentang ide dasar langkah-langkah tindakan refleksi yang terus bergulir dan kemudian menjadi suatu siklus. Namun demikian, Elliot juga memiliki pandangan tentang model Kemmis dan Taggart terutama terhadap skema langkah-langkahnya yang lebih rinci dan memiliki peluang untuk lebih mudah diubah. Untuk itu, kemudian Elliot membuat suatu diagram yang dipandangnya lebih baik. Meskipun Elliot memiliki keyakinan bahwa model PTK yang dikembngkannya lebih baik, namun mendapat kritikan dari Ebbut. Ebbut memberikan komentarnya terhadap model Elliot, bahwa diagram tersebut sulit dimengerti. Model PTK yang dikembangkan Elliot tersebut divisualisasikan pada gambar berikut

5.    Model Mc Kernan
Seperti model-model lain yang telah dikemukakan di muka, model Mc Kernan juga dikembangkan atas dasar ide Lewin. Terdapat dua konsep dasar yang dikembangkan oleh Mc Kenan dalam merumuskan model PTK. Pertama, sangatlah penting untuk mengingat bahwa kita tidak perlu selalu terikat oleh waktu, terutama untuk pemecahan permasalahan. Kedua, Beliau berpendapat bahwa hendaknya pemecahan masalah atau tindakan itu dilakukan secara rasional dan demokratis. Model PTK yang dikembangkan oleh Mc Kernan kemudian dikenal dengan Model Proses Waktu (a time process model). Berdasarkan Model Proses Waktu, tidak nampak adanya kegiatan observasi dan refleksi secara eksplisit. Namun demikian, apabila kita simpulkan setiap langkah PTK sudah terangkum dalam model tersebut, hanya penggunaan istilah yang berbeda. Untuk lebih jelasnya model proses waktu yang dikembangkan oleh Mc Kernan divisualisasikan pada gambar berikut

6.    Model Hopkins
Menurut Hopkins (1993:88-89), prosedur penelitian tindakan kelas dilakukan dalam tiga siklus atau lebih, di mana setiap siklusnya terdiri atas beberapa kali tindakan. Hal ini sesuai dengan kriteria keberhasilan penelitian yang telah ditetapkan. Diagram yang dikembangkan oleh Hopkins divisualisasikan dalam gambar berikut

7.    Model Raka Joni
Menurut Raka Joni (1998), prosedur penelitian tindakan kelas terdiri atas lima tahapan kegiatan, yaitu: pengembangan fokus masalah penelitian, perencanaan tindakan, pelaksanaan dan observasi, analisis dan refleksi, dan perencanaan tindakan lanjutan. Prosedur penelitian tindakan kelas tersebut divisualisasikan dalam gambar berikut.

Tujuan dikemukakannya keenam model tersebut adalah agar pembaca memiliki wawasan yang lebih luas tentang penelitian tindakan kelas. Selain itu, apabila mengenal lebih dari satu model dapat diharapkan memperoleh suatu pemahaman tentang keseluruhan suatu proses. Pada dasarnya, keenam model tersebut memiliki esensi yang sama, yakni sebagai suatu tindakan bersiklus secara berkelanjutan yang terdiri atas empat langkah.
Langkah-langkah tersebut adalah:
(1)    perencanaan,
(2)    pelaksanaan tindakan,
(3)    observasi, dan
(4)    refleksi.
Namun demikian, pada setiap model yang ditawarkan oleh masing-masing, tidak secara rinci dijelaskan tentang apa dan bagaimana operasionalisasi setiap langkah dan kaitan antar langkah tersebut pada setiap siklus atau antar siklus tindakan. Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami skema-skema setiap model tersebut, apabila guru akan menerapkannya atau mengadopsi untuk penelitian tindakan kelas dalam praktik di kelas. Beberapa hal penting tersebut di antaranya adalah:
(1)    Mengerti setiap model yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh
(2)    Memahami maksud skema dari setiap model tersebut
(3)    Mengetahui penggunaan skematis dari masing-masing model bila model tersebut dilaksanakan dalam praktik PTK di kelas
(4)    Mengetahui keunggulan dan kelemahan masing-masing model
(5)    Memodifikasi skema model sesuai dengan karakter kelas.

Selengkapnya:
http://www.mediafire.com/?ksxfr0i5mkcouj1